Defisiensi Gizi Pada Ibu Hamil dan Anak Usia Dini


Pengertian
Salah satu masalah sosial yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya status gizi masyarakat. Hal ini mudah dilihat, misalnya dari berbagai masalah gizi, seperti kurang gizi, anemia gizi besi, gangguan akibat kekurangan yodium, dan kurang vitamin A. Rendahnya status gizi jelas berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Oleh karena, status gizi memengaruhi kecerdasan, daya tahan tubuh terhadap penyakit, kematian bayi, kematian ibu, dan produktivitas kerja.
Masalah defisiensi gizi mikro seperti defisiensi zink (Zn) dan besi (Fe) merupakan masalah kesehatan masyarakat di banyak negara berkembang termasuk di Indonesia yang banyak dialami oleh kelompok rawan gizi seperti ibu menyusui dan bayi (ACC/SCN, 2001). Sementara itu Bank Dunia (Word Bank, 2006) menemukan bahwa 30% masyarakat di negara berkembang defisiensi gizi mikro (40% masyarakat defisiensi besi dan lebih dari 40% anak-anak defisiensi vitamin A).
Prevalensi defisiensi zink secara menyeluruh di Indonesia belum diketahui.
Prevalensi defisiensi zink skala kecil diketahui berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan di berbagai tempat. Studi di NTT, Lombok, Jabar, dan Jateng (Satoto, 1999 ; Hardinsyah et al, 1999) menyatakan prevalensi defisiensi zink pada ibu hamil dan bayi tinggi yaitu 30-90%. Defisiensi zink di Indonesia pada ibu menyusui 25% dan pada bayi 17% (Dijkhuizen et al, 2001). Studi Wijaya. M, (2001) mengungkap defisiensi zink pada bayi 11%, sedangkan Lind et al, (2003) mengungkap defisiensi zink pada bayi 6-12 bulan di Indonesia 78%.
Selain defisiensi zink maka anemia gizi besi yang disebabkan defisiensi besi di Indonesia masih tinggi yaitu 61,3% pada anak <6 bulan dan 64,8% pada anak 6-11 bulan (SKRT.2001). Anemia gizi besi pada bayi dan anak usia dibawah dua tahun (baduta) juga masih tinggi yang ditunjukkan pada beberapa studi. Studi Wijaya. M, (2001) menemukan 61% bayi di Indonesia anemia. Studi Dijkhuizen et al, (2001) mengungkap prevalensi anemia pada bayi 57%, Riyadi. H (2002) mengungkap prevalensi anemia pada anak baduta di Jawa Barat 49%, dan Lind et al, (2003) ) mengungkap prevalensi anemia pada bayi 6-12 bulan 41%. Tingginya
prevalensi anemia ataupun defisiensi zink pada bayi dan balita ini harus ditindak lanjuti berdasarkan kajian yang dilakukan WHO (2002) yang mengemukakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita dipengaruhi oleh faktor gizi. Sedangkan prevalensi anemia gizi besi pada ibu menyusui secara menyeluruh belum diketahui tetapi diduga hampir sama dengan prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil dengan asumsi ibu hamil akan menjadi ibu menyusui dan tidak adanya program pemberian tablet besi pada ibu menyusui seperti pada ibu hamil. Dijkhuizen et al, (2001) menemukan prevalensi anemia pada ibu menyusui 52%. Anemia yang terjadi pada ibu menyusui akan berdampak terhadap kemampuan untuk memproduksi ASI yang cukup dimana cadangan atau jaringan ibu akan dipakai untuk memproduksi ASI sehingga ibu sangat beresiko terhadap terjadinya gizi kurang dan anemia yang lebih berat.

Gejala Klinis
Baik terhadap remaja perempuan, ibu hamil, ibu menyusui, maupun bayi sampai anak usia 2 tahun. Pada ibu hamil misalnya, masalah kesehatan yang sering dihadapi seperti mual, muntah berlebihan, anemia, dan kekurangan zat besi, konstipasi, hipertensi, preeklamsia, dan eklamsia, serta diabetes gestasional. Padahal kecukupan gizi ibu hamil besar pengaruhnya terhadap tumbuh kembang anak.

Solusi
Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah
defisiensi gizi seperti penyuluhan gizi, pemberian bantuan pangan, suplementasi
gizi, diversifikasi pangan, dan fortifikasi pangan. Fortifikasi merupakan intervensi
gizi dengan rasio manfaat-biaya (benefit cost ratio) tertinggi dibanding intervensi
gizi lain (Behman,et al dalam World Bank, 2006). Zat gizi yang digunakan dalam
fortifikasi diantaranya zink dan besi. Fortifikasi zink dan besi pada ibu menyusui
melalui makanan bertujuan memperbaiki status gizi ibu menyusui agar
menghasilkan ASI optimal untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Berbagai studi
telah mengungkap peranan suplementasi maupun fortifikasi zink dan besi dalam
menurunkan prevalensi anemia gizi besi dan defisiensi zink pada bayi maupun ibu
menyusui. Selain itu berbagai studi juga membuktikan peranan zink dan besi dalam
pertumbuhan linier anak, imunitas, penurunan kematian perinatal, penyakit infeksi
dan diare pada anak. Peran zink dalam pertumbuhan terlihat dari interaksi zink
dengan hormon dalam proses pembentukan tulang sedangkan adanya besi
memungkinkan setiap sel termasuk sel tulang dapat melakukan metabolisme sel
dengan baik dimana besi akan mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel
untuk metabolisme dan menghasilkan energi.
Fortifikasi mie instan dengan zat besi dan vitamin A yang dikonsumsi 3x
seminggu pada anak balita (1-5 tahun) selama 14 minggu mampu meningkatkan
kadar hemoglobin (Hb) 0,31 g/L sedangkan pada kelompok plasebo menurunkan Hb
0,10 g/L (Sukati et al, 1995). Studi Dijkhuizen et al (2001) mengungkap bahwa
setelah suplementasi zink 10 mg/hari, dan suplementasi besi 10 mg/hari + zink 10
mg/hari pada bayi (2,5 – 10,5 bulan) selama 6 bulan dapat menurunkan prevalensi
anemia 20 – 38% dan menurunkan defisiensi zink (Zn < 10,7 µmol/L) sebesar 22 -
27%. Studi Thu Bui Dai (1997) suplementasi harian 5 mg zink + 8 mg besi + 20 mg
vitamin C dan suplementasi mingguan 17,4 mg zink + 20 mg besi + 20 mg vitamin
C selama 12 minggu pada anak 6-24 bulan mampu meningkatkan kadar Hb 1,55 g/L
dan zink plasma 3,42 µmol/L pada kelompok suplementasi harian sedangkan pada
kelompok suplementasi mingguan mampu meningkatkan kadar Hb 1,32 g/L dan
zink plasma 4,07 µmol/L. Studi Wijaya. M (2001) suplementasi 10 mg besi + 5 mg
zink + mineral lain pada bayi selama 23 minggu mampu meningkatkan Hb 0,6 g/L,
zink plasma 0,3 µmol/L, dan feritin 1,22 µg/L pada kelompok suplementasi harian
sedangkan pada kelompok suplementasi mingguan mampu meningkatkan Hb 0,16 g/L dan meningkatkan feritin 0,13 µg /L.
Studi Penny. M et al (2004) suplementasi 3 kelompok yaitu kelompok 10 mg zink, kelompok 10 mg zink + 10 mg besi + berbagai vitamin mineral, dan kelompok plasebo pada anak 6-36 bulan selama 6 bulan menyimpulkan bahwa pertambahan berat badan dan pertambahan panjang badan lebih besar pada kelompok perlakuan daripada kelompok plasebo yaitu meningkatkan berat badan sekitar 0,06 – 0,10 kg dan meningkatkan panjang badan sekitar 0,2 – 0,3 cm. Studi Thu Bui Dai (1999) suplementasi harian 5 mg zink + 8 mg besi + 20 mg vitamin C pada anak 6-24 bulan selama 12 minggu mampu meningkatkan panjang badan 0,2
cm. Studi Riyadi, H (2002) suplementasi harian 15 mg zink + 15 mg besi dan suplementasi mingguan 30 mg zink + 30 mg besi pada anak 6-24 bulan selama 5 bulan memberikan pertambahan berat badan 0,6 kg dan panjang badan 0,7 cm pada kelompok suplementasi harian sedangkan pada kelompok suplementasi mingguan memberikan pertambahan berat badan 0,1 kg dan panjang badan 0,2 cm.
Studi Dijkhuizen et al (2001) suplementasi zink 10 mg/hari, suplementasi besi 10 mg/hari, dan suplementasi zink 10 mg/hari + besi 10 mg/hari pada bayi (2,5 – 10,5 bulan) selama 6 bulan mampu menurunkan prevalensi stunting (z-skor PB/U < -2,0) sekitar 5 – 6%. Studi lainnya yaitu studi Kathryn. G. et al (2002) suplementasi besi melalui sirup dengan dosis 25 gr besi /L sirup pada bayi memberikan pertambahan panjang badan 0,30 cm.
Hubungan intik gizi mikro dan kadar gizi mikro dalam ASI sampai saat ini belum konklusif. Beberapa studi menyimpulkan bahwa buruknya intik gizi mikro dan status gizi mikro pada ibu mengakibatkan rendahnya kadar gizi mikro dalam ASI. Sebaliknya studi lain menyimpulkan tidak ada hubungan intik gizi mikro pada ibu terhadap kadar gizi mikro ASI. Studi Krebs (1985) menyimpulkan bahwa suplementasi zink berpengaruh terhadap kadar zink ASI setelah suplementasi 13 mg zink/hari selama 6 bulan. Hasil yang sama juga diungkap oleh Karra (1989) dengan suplementasi 50 mg/hari selama 34 hari. Sebaliknya studi Nasution, A (2003) menyimpulkan hal yang berbeda yaitu bahwa tidak ada pengaruh pemberian biscuit fortifikasi 15 mg zink yang diberikan 3 kali seminggu selama 3-5 bulan terhadap kadar zink dalam ASI. Studi Dijkhuizen et al (2001) juga menyimpulkan bahwa
kadar zink ASI tidak berhubungan dengan zink plasma ibu dan zink plasma bayi.
Studi Salvador. V dan Latulippe. M (2003) menyimpulkan bahwa kadar besi dalam ASI tidak berhubungan dengan status besi pada ibu. Studi (Dallman,1986; Murray,1978; Siimes, 1984) juga menyimpulkan bahwa kadar besi ASI tidak dipengaruhi oleh status besi ibu. Sebaliknya studi Nasution, A (2003) menyimpulkan hal yang berbeda yaitu bahwa ada pengaruh pemberian biskuit yang difortifikasi 30 mg besi yang diberikan 3 kali seminggu selama 3-5 bulan terhadap kadar besi dalam ASI. Hasil yang sama juga diungkap dalam studi di India yaituadanya pengaruh positif ibu yang defisiensi besi terhadap kadar besi ASI (Fransson.
G.B et al, 2000).

Cara Pencegahan
Penting untuk memperhatikan kenaikan jumlah asupan gizi yang diperlukan. Seperti kebutuhan energi pada trimester pertama sebesar 2.080 kkal, trimester 2 dan 3 sebesar 2.200 kkal dan protein 67 gram per hari pada trimester 1–3. Yang juga menjadi perhatian adalah fakta bahwa ibu hamil bersama remaja perempuan dan bayi sampai usia 2 tahun termasuk kelompok kritis tumbuh kembang manusia.

Menurut Angka Kecukupan Gizi rata-rata yang dianjurkan per orang/hari, kebutuhan energi anak usia 1–3 tahun sebesar 1.000 kkal, anak usia 4–6 tahun sebesar 1.500 kkal. Sementara kebutuhan protein anak usia 1–3 tahun sebesar 25 gram dan usia 4–6 tahun adalah sebesar 39 gram.

Masalah dalam pemberian makan anak di rentang usia 3–5 tahun di antaranya anak tidak suka sayuran, pilih-pilih makanan, dan menyukai junk food.

Sangat penting bagi orang tua untuk mengenalkan ragam makanan dan gizi seimbang sejak dini kepada anak.
Prinsip gizi seimbang untuk kelompok ini pada intinya memperhatikan variasi makanan, membatasi makanan yang meningkatkan kadar asam urat, memperbanyak makan buah dan sayur segar, minum air putih yang cukup, dan membatasi garam, serta memilih tekstur dan cita rasa makanan.

Membiasakan makan makanan beragam dan memenuhi kebutuhan air putih untuk menyokong aktivitas keseharian merupakan salah satu prinsip gizi seimbang. Sudah banyak bukti dari berbagai penelitian bahwa kekurangan air tubuh sekitar 1 persen berat badan (setara 2 gelas) bagi remaja dan orang dewasa, menimbulkan gangguan mood dan gejala awal kekurangan air tubuh. Bibir menjadi kering, sakit kepala, warna urine kuning, dan suhu tubuh meningkat.

Keadaan ini akan menurunkan konsentrasi belajar atau berpikir serta menurunkan stamina. Di Indonesia, sekitar separuh orang dewasa dan remaja mengalami dehidrasi ringan. Diperlukan minuman yang lebih banyak bagi orang yang berada dalam lingkungan dingin dan ibu hamil.
Program gizi yang kini telah diimplementasikan oleh pemerintah mempunyai beberapa sasaran. Pertama, menurunkan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 20 persen. Kedua, menurunkan prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak menjadi kurang dari 5 persen. Ketiga, menurunkan anemia gizi besi pada ibu hamil menjadi 40 persen. Keempat, tidak ditemukannya kekurangan vitamin A (KVA) klinis pada anak balita dan ibu hamil. Kelima, meningkatkan jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium menjadi 90 persen. Keenam, tercapainya konsumsi gizi seimbang dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 2.200 kkal per kapita per hari dan protein 50 gram per kapita per hari.

Indonesia harus menelan ”pil pahit” karena hanya sebagian kecil dari penduduknya yang kebutuhan gizinya tercukupi. National Socio-Economic Survey (Susenas) mencatat, pada tahun 1989 saja ada lebih dari empat juta penderita gizi buruk adalah anak-anak di bawah usia dua tahun. Padahal menurut ahli gizi, 80 persen proses pembentukan otak berlangsung pada usia 0-2 tahun.

Ada sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan kalori protein. Itu data yang dihimpun Susenas empat tahun lalu. Bukan tidak mungkin saat ini jumlahnya meningkat tajam karena krisis ekonomi yang berkepanjangan ditambah dengan masalah pangan yang sulit didapat. Bahkan menurut United Nations Children’s Fund (Unicef) saat ini ada sekitar 40 persen anak Indonesia di bawah usia lima tahun (balita) menderita gizi buruk.
Seorang anak yang pada usia balita kekurangan gizi akan mempunyai Intellegent Quotient (IQ) lebih rendah 13-15 poin dari anak lain pada saat memasuki sekolah. Perkembangan otak anak usia balita sangat ditentukan oleh faktor makanan yang dikonsumsi. Zat gizi seperti protein, zat besi, berbagai vitamin, termasuk asam lemak omega 3 adalah pendukung kecerdasan otak anak. Zat-zat itu bisa didapat dari makanan sehari-hari seperti ikan, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sebagainya. Singkatnya, pola makan seorang anak haruslah bervariasi, tidak hanya satu atau dua jenis saja.

Dari diskusi terbatas pada Oktober 2005 di Bappenas, terungkap bahwa pada tahun 2003 prevalensi gizi kurang dan buruk adalah 27,5 persen, mengindikasikan belum tercapainya sasaran (20 persen). Yang menarik, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) ini agak jauh berbeda dengan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001-2004. Dengan menggunakan acuan BB/U (berat badan menurut umur), SKRT 2001 menemukan prevalensi gizi kurang sebesar 22,5 persen dan gizi buruk 8,5 persen. Adapun data Susenas menunjukkan prevalensi gizi kurang 19,8 persen dan gizi buruk 6,3 persen. Karena itu, diperlukan harmonisasi data dengan memerhatikan keunggulan dan kelemahan pelaksanaan masing-masing survei.
Hasil survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998, dan 2003 menunjukkan penurunan prevalensi GAKY yang cukup berarti. Pada tahun 1980, prevalensi GAKY pada anak usia sekolah adalah 30 persen, lalu turun menjadi 27,9 (1990), selanjutnya menjadi 9,8 persen (1996/1998). Survei tahun 2003 menunjukkan, prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11,1 persen.

Usaha-usaha menurunkan prevalensi GAKY mungkin dapat dikatakan sudah on the right track. Pencapaian target GAKY biasanya terkait cakupan konsumsi garam beryodium di rumah tangga. Rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium secara cukup, hingga tahun 2003 adalah 73.2 persen. Jika dibandingkan dengan target tahun 2004 sebesar 90 persen, maka pencapaian sasaran adalah 81,3 persen.
Prevalensi anemia gizi besi (AGB) pada ibu hamil turun dari 50,9 persen (1995) menjadi 40,1 persen (2001). Dengan sasaran yang ingin dicapai 40 persen, maka pencapaian target adalah sebesar 99,75 persen. Intervensi yang dilakukan saat ini masih berkisar pada suplementasi atau pemberian tablet besi. Strategi lain masih belum dioptimalkan seperti fortifikasi besi pada makanan serta penyuluhan.

Banyak wanita hamil yang menderita anemia karena kebutuhan zat gizi umumnya meningkat, tetapi konsumsi makanannya tidak memenuhi syarat gizi. Selain konsumsi makanan yang tidak cukup, kondisi anemia juga diperburuk oleh kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan gizi yang belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya. Itulah sebabnya, pengaturan jarak kehamilan menjadi penting untuk diperhatikan sehingga ibu siap hamil kembali tanpa harus menguras cadangan gizi.

Meski dinyatakan bebas xerophthalmia (kurang vitamin A) pada tahun 1992, di Indonesia masih dijumpai 50 persen dari anak balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi anak balita dengan serum retinol kurang dari 20 mcg/100 ml disertai pola makanan anak balita yang belum seimbang menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko dan menjadi amat tergantung kapsul vitamin A dosis tinggi, terutama pada daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi.

Masalah kekurangan vitamin A adalah bentuk kelaparan tak kentara yang sering lepas dari perhatian para pengambil kebijakan. WHO memperkirakan, pada tahun 1995 lebih kurang 250 juta anak balita di seluruh dunia menderita kurang vitamin A, 3 juta di antaranya dengan gejala kerusakan mata yang menuju kebutaan. Kira-kira 10 persen kasus orang buta di negara berkembang disebabkan kekurangan vitamin A.

Mereka yang buta karena kurang vitamin A sekitar 70 persennya meninggal dalam waktu satu tahun. Hasil penelitian Tarwotjo, Muhilal, dan Sommer di Sumatera tahun 1980-an yang dipublikasikan di berbagai jurnal internasional mengungkap kaitan kekurangan vitamin A dengan mortalitas dan morbiditas.

Angka kematian bayi terkait erat status gizi anak. Anak-anak penderita gizi kurang umumnya memiliki kekebalan tubuh yang rendah dan hal ini menjadikan dirinya rawan terhadap infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit infeksi yang senantiasa mengintai bayi adalah diare dan infeksi saluran pernapasan.

Dalam hal angka kematian bayi, Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi amat rendah, masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi anak-anak.

Berdasarkan pada Susenas 2002, konsumsi kalori rata-rata penduduk 1.985 kkal dan 54,4 gram protein. Angka ini mendekati sasaran yang ditetapkan pemerintah. Namun, ketidakseimbangan di wilayah masih terjadi karena banyak penduduk mengonsumsi kurang dari 70 persen dari kecukupan gizi yang dianjurkan. Ini mengindikasikan, isu ketahanan pangan masih perlu diwaspadai.

Pada tahun 1997, WHO Expert Consultation on Obesity memperingatkan tentang meningkatnya masalah kegemukan dan obesitas di berbagai belahan dunia. Jika tidak ada tindakan untuk mengatasi masalah pandemik ini, jutaan manusia di negara maju maupun berkembang akan menghadapi risiko noncommunicable diseases (NCDs) seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, dan stroke.

Disadari, banyak negara tidak memiliki data akurat mengenai masalah kegemukan dan obesitas di kalangan penduduknya. Hal ini disebabkan kurangnya prioritas untuk memahami masalah kesehatan yang amat serius ini. Apalagi negara-negara berkembang lebih memfokuskan diri pada dimensi masalah gizi kurang.

Berbagai indikator gizi itu menunjukkan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas SDM kita. Persoalan kualitas SDM masih ditambah masalah-masalah moral, kejujuran, kedisiplinan yang menjadikan bangsa Indonesia sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Disadari pula bahwa gizi buruk bukan hanya merupakan masalah kesehatan saja, tapi juga terkait dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sebagai landasan bersama dalam mengembangkan program-program lintas sektor yang melibatkan institusi non Pemerintah dan masyarakat secara konkrit, Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat bekerja sama dengan berbagai sektor telah menyusun Pedoman Umum Program Aksi Nasional Pengembangan Kabupaten/Kota Percontohan dalam Upaya Peningkatan Derajat Kesehatan.
Diposting oleh Abu Jundi — Jumat, 01 Juli 2011

Belum ada komentar untuk "Defisiensi Gizi Pada Ibu Hamil dan Anak Usia Dini"

Tambahkan komentar anda :

Silakan tulis Komentar anda ...

Arsip Blog

Info Lowongan Kerja Solo Raya 2012