Segala puji bagi Allah, sholawat serta
salam kita haturkan kepada Nabi
Muhammad beserta keluarga dan
sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh
untuk sesama muslim yang telah
meninggal menjadi ladang amal bagi kita
yang masih di dunia ini sekaligus
tambahan amal bagi yang telah berada di
alam sana. Sebagai agama yang
mencerahkan dan mencerdaskan, Islam
membimbing kita menyikapi sebuah
kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu
amal shalih, tidak dengan hal-hal duniawi
yang tidak berhubungan sama sekali
dengan alam sana seperti kuburan yang
megah, bekal kubur yang berharga,
tangisan yang membahana, maupun pesta
besar-besaran. Bila diantara saudara kita
menghadapi musibah kematian,
hendaklah sanak saudara menjadi
penghibur dan penguat kesabaran,
sebagaimana Rasulullah memerintahkan
membuatkan makanan bagi keluarga yang
sedang terkena musibah tersebut, dalam
hadits:
“Kirimkanlah makanan oleh kalian
kepada keluarga Ja'far, karena
mereka sedang tertimpa masalah yang
menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan
Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan
al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan
al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi
(Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim
(al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah
(Sunan Ibn Majah, 1/514)
Namun ironisnya kini, justru uang jutaan
rupiah dihabiskan tiap malam untuk
sebuah selamatan kematian yang harus
ditanggung keluarga yang terkena
musibah. Padahal ketika Rasulullah
ditanya shodaqoh terbaik yang akan
dikirimkan kepada sang ibu yang telah
meninggal, Beliau menjawab ‘air’.
Bayangkan betapa banyak orang yang
mengambil manfaat dari sumur yang
dibuat itu (menyediakan air bagi
masyarakat indonesia yang melimpah air
saja sangat berharga, apalagi di Arab
yang beriklim gurun), awet dan menjadi
amal jariyah yang terus mengalir.
Rasulullah telah mengisyaratkan amal
jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan
untuk hal-hal yang produktif, bukan
konsumtif; memberi kail, bukan memberi
ikan; seandainya seorang pengemis diberi
uang atau makanan, besok dia akan
mengemis lagi; namun jika diberi kampak
untuk mencari kayu, besok dia sudah bisa
mandiri. Juga amal jariyah yang
manfaatnya awet seperti menulis mushaf,
membangun masjid, menanam pohon
yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan
kritis), membuat sumur/mengalirkan air
(fasilitas umum, irigasi), mengajarkan
ilmu, yang memang benar-benar sedang
dibutuhkan masyarakat. Bilamana tidak
mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan
secara patungan. Seandainya dana umat
Islam yang demikian besar untuk
selamatan berupa makanan (bahkan
banyak makanan yang akhirnya dibuang
sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi
isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa
kepada anak yatim atau kurang mampu
agar bisa sekolah, membenahi madrasah/
sekolah islam agar kualitasnya sebaik
sekolah faforit (yang umumnya milik umat
lain),atau menciptakan lapangan kerja
dan memberi bekal ketrampilan bagi
pengangguran, niscaya akan lebih
bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut
bukan suatu keharusan, apalagi bila
memang tidak mampu. Melakukannya
menjadi keutamaan, bila tidak mau pun
tidak boleh ada celaan.
Sebagian ulama menyatakan mengirimkan
pahala tidak selamanya harus dalam
bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu
Taimiyah berpendapat bacaan al- Qur’an
dapat sampai sebagaimana puasa,
nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan
Imam Nawawi menyatakan bacaan al-
Qur’an untuk si mayit tidak sampai karena
tidak ada dalil yang memerintahkan hal
tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah
dan para shahabat. Berbeda dengan
ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad
seperti shalat, zakat, qurban, sholat
jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang
mana ada celaan bagi mereka yang
meninggalkannya dalam keadaan mampu.
Akan tetapi di masyarakat kita selamatan
kematian/tahlilan telah dianggap melebihi
kewajiban- kewajiban agama. Orang yang
meninggalkannya dianggap lebih tercela
daripada orang yang meninggalkan sholat,
zakat, atau kewajiban agama yang lain.
Sehingga banyak yang akhirnya
memaksakan diri karena takut akan sanksi
sosial tersebut. Mulai dari berhutang,
menjual tanah, ternak atau barang
berharga yang dimiliki, meskipun di
antara keluarga terdapat anak yatim atau
orang lemah. Padahal di dalam al-Qur’an
telah jelas terdapat arahan untuk
memberikan perlindungan harta anak
yatim; tidak memakan harta anak yatim
secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia
dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al-
An’am: 152, QS al-Isra’: 34) serta tidak
membelanjakannya secara boros (QS an-
Nisa’: 6)
Dibalik selamatan kematian tersebut
sesungguhnya juga terkandung tipuan
yang memperdayakan. Seorang yang tidak
beribadah/menunaikan kewajiban agama
selama hidupnya, dengan besarnya
prosesi selamatan setelah kematiannya
akan menganggap sudah cukup amalnya,
bahkan untuk menebus kesalahan-
kesalahannya. Juga seorang anak yang
tidak taat beribadahpun akan
menganggap dengan menyelenggarakan
selamatan, telah menunaikan
kewajibannya berbakti/mendoakan orang
tuanya.
Imam Syafi'i rahimahullah dalam kitab
al-Umm berkata:
"...dan aku membenci al-ma'tam, yaitu
proses berkumpul (di tempat keluarga
mayat) walaupun tanpa tangisan,
karena hal tersebut hanya akan
menimbulkan bertambahnya
kesedihan dan membutuhkan biaya,
padahal beban kesedihan masih
melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-
Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)
Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa
ini, menghadapi kuatnya adat istiadat
yang telah mengakar. Masuk Islam tapi
kehilangan selamatan-selamatan, beratnya
seperti masyarakat Romawi disuruh
masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan
kelahiran anak Dewa Matahari 25
Desember.
Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali,
mengutip naskah kuno tentang jawa yang
tersimpan di musium Leiden, Sunan
Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo
yang masih melestarikan selamatan
tersebut:“Jangan ditiru perbuatan
semacam itu karena termasuk bid'ah”.
Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah
nanti generasi setelah kita ketika
Islam telah tertanam di hati
masyarakat yang akan menghilangkan
budaya tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo
yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan
diterbitkan Penerbit Terbit Terang
Surabaya juga mengupas panjang lebar
mengenai masalah ini. Dimana Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus,
Sunan Gunungjati dan Sunan Muria
(kaum abangan) berbeda pandangan
mengenai adat istiadat dengan Sunan
Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat
(kaum putihan). Sunan Kalijaga
mengusulkan agar adat istiadat lama
seperti selamatan, bersaji, wayang dan
gamelan dimasuki rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain:
“Apakah tidak mengkhawatirkannya di
kemudian hari bahwa adat istiadat dan
upacara lama itu nanti dianggap
sebagai ajaran yang berasal dari
agama Islam? Jika hal ini dibiarkan
nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan
kudus menjawabnya bahwa ia
mempunyai keyakinan bahwa di
belakang hari akan ada yang
menyempurnakannya. (hal 41, 64)
Dalam penyebaran agama Islam di
Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi
tiga wilayah garapan
Pembagian wilayah tersebut berdasarkan
obyek dakwah yang dipengaruhi oleh
agama yang masyarakat anut pada saat
itu, yaitu Hindu dan Budha.
Pertama: Wilayah Timur . Di wilayah
bagian timur ini ditempati oleh lima
orang wali, karena pengaruh hindu
sangat dominan. Disamping itu pusat
kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa
bagian timur ini (Jawa Timur sekarang)
Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu
Syaikh Maulana Ibrahim (Sunan Demak),
Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden
Paku (Sunan Giri), Makdum Ibrahim
(Sunan Bonang), dan Raden Kasim
(Sunan Drajat)
Kedua : Wilayah Tengah . Di wilayah
Tengah ditempati oleh tiga orang Wali.
Pengaruh Hindu tidak begitu dominan.
Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali
yang ditugaskan di sini adalah : Raden
Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto
(Sunan Muria), Ja'far Shadiq (Sunan
Kudus)
Ketiga : Wilayah Barat . Di wilayah ini
meliputi Jawa bagian barat, ditempati oleh
seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati
alias Syarief Hidayatullah. Di wilayah barat
pengaruh Hindu-Budha tidak dominan,
karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan)
penduduknya telah menjadi penganut
agama asli sunda, antara lain kepercayaan
"Sunda Wiwitan"
Dua Pendekatan dakwah para wali.
1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama
Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk
menyampaikan ajaran Islam secara murni,
baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan
mereka menghindarkan diri dari bentuk
singkretisme ajaran Hindu dan Budha.
Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan
Muria dan Sunan Kalijaga mencoba
menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan
Budha di dalam menyampaikan ajaran
Islam. Sampai saat ini budaya itu masih
ada di masyarakat kita, seperti sekatenan,
ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara
tujuh bulanan dll.
Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh
Sunan Kalijaga, putra Tumenggung
Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban.
Pendekatan sosial budaya yang dilakukan
oleh aliran Tuban memang cukup efektif,
misalnya Sunan Kalijaga menggunakan
wayang kulit untuk menarik masyarakat
jawa yang waktu itu sangat menyenangi
wayang kulit. Sebagai contoh dakwah
Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya V,
Raja Majapahit terakhir yang masih
beragama Hindu, dapat dilihat di serat
Darmogandul, yang antara lain bunyinya;
Punika sadar sarengat, tegese sarengat
niki, yen sare wadine njegat; tarekat
taren kang osteri; hakikat unggil kapti,
kedah rujuk estri kakung, makripat
ngentos wikan, sarak sarat laki rabi,
ngaben aku kaidenna yayan
rina" (itulah yang namanya sahadat
syariat, artinya syariat ini, bila tidur
kemaluannya tegak; sedangkan tarekat
artinya meminta kepada istrinya;
hakikat artinya menyatu padu , semua
itu harus mendapat persetujuan suami
istri; makrifat artinya mengenal ;
jadilah sekarang hukum itu merupakan
syarat bagi mereka yang ingin
berumah tangga, sehingga
bersenggama itu dapat dilaksanakan
kapanpun juga). Dengan cara dan sikap
Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka,
maka ia satu-satunya Wali dari Sembilan
Wali di Jawa yang dianggap benar-benar
wali oleh golongan kejawen (Islam
Kejawen/abangan), karena Sunan
Kalijaga adalah satu-satunya wali yang
berasal dari penduduk asli Jawa
(pribumi) .
[Sumber : Abdul Qadir Jailani ,
Peran Ulama dan Santri Dalam
Perjuangan Politik Islam di
Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT.
Bina Ilmu dan Muhammad Umar
Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain
Syarat Utama Tegaknya Syariat
Islam , hal. 51-54, Kata Pengantar
Muhammad Arifin Ilham
(Pimpinan Majlis Adz Zikra ),
Penerbit Bina Biladi Press.]
Nasehat Sunan Bonang
Salah satu catatan menarik yang terdapat
dalam dokumen “Het Book van
Mbonang”[1] adalah peringatan dari
sunan Mbonang kepada umat untuk selalu
bersikap saling membantu dalam suasana
cinta kasih, dan mencegah diri dari
kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai
berikut:
“Ee..mitraningsun! Karana sira iki
apapasihana sami-saminira Islam lan
mitranira kang asih ing sira lan
anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah “.
Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian
semua adalah sama-sama pemeluk Islam
maka hendaklah saling mengasihi dengan
saudaramu yang mengasihimu. Kalian
semua hendaklah mencegah dari
perbuatan sesat dan bid’ah.[2]
[1] Dokumen ini adalah sumber
tentang walisongo yang dipercayai
sebagai dokumen asli dan valid,
yang tersimpan di Museum Leiden,
Belanda. Dari dokumen ini telah
dilakukan beberapa kajian oleh
beberapa peneliti. Diantaranya
thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816,
dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun
1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910,
dan Dr. Pj Zoetmulder Sj , tahun
1935.
[2] Dari info Abu Yahta Arif
Mustaqim, pengedit buku Mantan
Kiai NU Menggugat Tahlilan,
Istighosahan dan Ziarah Para Wali
hlm. 12-13.
Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal
13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober
1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar
al-Haitami dan menyatakan bahwa
selamatan kematian adalah bid'ah yang
hina namun tidak sampai diharamkan dan
merujuk juga kepada Kitab Ianatut
Thalibin. Namun Nahdliyin generasi
berikutnya menganggap pentingnya
tahlilan tersebut sejajar (bahkan
melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal
Jama’ah. Sekalipun seseorang telah
melakukan kewajiban-kewajiban agama,
namun tidak melakukan tahlilan, akan
dianggap tercela sekali, bukan termasuk
golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah. Di
zaman akhir yang ini dimana keadaan
pengikut sunnah seperti orang 'aneh'
asing di negeri sendiri, begitu banyaknya
orang Islam yang meninggalkan kewajiban
agama tanpa rasa malu, seperti
meninggalkan Sholat Jum'at, puasa
Romadhon,dll. Sebaliknya masyarakat
begitu antusias melaksanakan tahlilan ini,
hanya segelintir orang yang berani
meninggalkannya. Bahkan non-muslim
pun akan merasa kikuk bila tak
melaksanakannya. Padahal para ulama
terdahulu senantiasa mengingat dalil-dalil
yang menganggap buruk walimah
(selamatan) dalam suasana musibah
tersebut. Dari sahabat Jarir bin Abdullah
al-Bajali: "Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka
merupakan bagian dari niyahah (meratapi
mayit)". (Musnad Ahmad bin Hambal
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II, hal 204 &
Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz
I, hal 514)
MUKTAMAR I
NAHDLATUL
ULAMA (NU)
KEPUTUSAN
MASALAH
DINIYYAH
NO: 18 / 13
RABI’UTS
TSAANI 1345
H / 21
OKTOBER
1926 DI
SURABAYA
TENTANG
KELUARGA
MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA
PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat
menyediakan makanan untuk hidangan
kepada mereka yang datang berta’ziah
pada hari wafatnya atau hari-hari
berikutnya, dengan maksud bersedekah
untuk mayat tersebut? Apakah keluarga
memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat
atau hari ketiga atau hari ketujuh itu
hukumnya MAKRUH, apabila harus
dengan cara berkumpul bersama-sama
dan pada hari-hari tertentu, sedang
hukum makruh tersebut tidak
menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul
Janaiz:
“ MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit
ikut duduk bersama orang-orang yang
sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan
membuatkan makanan bagi mereka,
sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari
Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata:
”kami menganggap berkumpul di (rumah
keluarga) mayit dengan menyuguhi
makanan pada mereka, setelah si mayit
dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN
(YANG DILARANG) .”
Dalam kitab Al
Fatawa Al Kubra
disebutkan :
“Beliau ditanya
semoga Allah
mengembalikan
barokah-Nya
kepada kita.
Bagaimanakah
tentang hewan
yang disembelih
dan dimasak
kemudian dibawa
di belakang mayit menuju kuburan untuk
disedekahkan ke para penggali kubur
saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN
PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM
BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN
UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN,
DAN DEMIKIAN HALNYA YANG
DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta
yang dilakukan pada genap sebulan
dengan pemberian roti yang diedarkan ke
rumah-rumah wanita yang menghadiri
proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya
hanya sekedar melaksanakan kebiasaan
penduduk setempat sehingga bagi yang
tidak mau melakukannya akan dibenci
oleh mereka dan ia akan merasa
diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan
adat tersebut dan bersedekah tidak
bertujuaan (pahala) akhirat, maka
bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas
keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/
dihitung dalam pembagian tirkah/harta
warisan, walau sebagian ahli waris yang
lain tidak senang pentasarufan sebagaian
tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si
mayit selama satu bulan berjalan dari
kematiannya. Sebab, tradisi demikian,
menurut anggapan masyarakat harus
dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana
hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang
dilakukan sebagaimana yang ditanyakan
di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA
tetapi tidak sampai haram (alias makruh),
kecuali (bisa haram) jika prosesi
penghormatan pada mayit di rumah ahli
warisnya itu bertujuan untuk “meratapi”
atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia
harus bertujuan untuk menangkal
“OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH
(yaitu orang-orang yang punya adat
kebiasaan menyediakan makanan pada
hari wafat atau hari ketiga atau hari
ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak
menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia
tidak mau melakukan prosesi
penghormatan di atas. Dengan sikap
demikian, diharapkan ia mendapatkan
pahala setara dengan realisasi perintah
Nabi terhadap seseorang yang batal
(karena hadast) shalatnya untuk menutup
hidungnya dengan tangan (seakan-akan
hidungnya keluar darah). Ini demi untuk
menjaga kehormatan dirinya, jika ia
berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi
seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang
belum dibagikan mutlak harus disterilkan
jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi.
Walaupun ahli warisnya sudah pandai-
pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak
rela (jika tirkah itu digunakan sebelum
dibagi kepada ahli waris).
[Buku " Masalah Keagamaan "
Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU
ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430
masalah) oleh KH. A. Aziz
Masyhuri ketua Pimpinan Pusat
Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan
Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah
Denanyar Jombang . Kata
Pengantar Menteri Agama Republik
Indonesia : H. Maftuh Basuni]
Hasil Scan halaman buku "Masalah
Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas
Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari
430 masalah);
Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam
Kitab I'anatut Thalibin Juz 2 hal. 165
-166 , Seperti terlampir di bawah ini :
ﺪﻗﻭ ﻞﺳﺭﺃ ﻲﻌﻓﺎﺸﻟﺍ ﻡﺎﻣﻻﺍ ﻲﺿﺭ - ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻨﻋ -
ﺾﻌﺑ ﻰﻟﺇ ﻪﺑﺎﺤﺻﺃ ﻪﻳﺰﻌﻳ ﻦﺑﺍ ﻲﻓ ﻪﻟ ﺪﻗ ﺕﺎﻣ
:ﻪﻟﻮﻘﺑ ﻲﻧﺇ ﻚﻳﺰﻌﻣ ﻻ ﻲﻧﺇ ﻰﻠﻋ ﺔﻘﺛ * * ﻦﻣ
،ﺩﻮﻠﺨﻟﺍ ﺔﻨﺳ ﻦﻜﻟﻭ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﺎﻤﻓ ﻕﺎﺒﺑ ﻯﺰﻌﻤﻟﺍ ﺪﻌﺑ
* ﻪﺘﻴﻣ ﻻﻭ * ﻮﻟﻭ ﻱﺰﻌﻤﻟﺍ ﻰﻟﺇ ﺎﺷﺎﻋ ﻦﻴﺣ
:ﺔﻳﺰﻌﺘﻟﺍﻭ ﺮﻣﻻﺍ ﻲﻫ ﻞﻤﺤﻟﺍﻭ ،ﺮﺒﺼﻟﺎﺑ ﺪﻋﻮﺑ ﻪﻴﻠﻋ
ﺮﻳﺬﺤﺘﻟﺍﻭ ،ﺮﺟﻻﺍ ﻦﻣ ﺭﺯﻮﻟﺍ ،ﻉﺰﺠﻟﺎﺑ ﺀﺎﻋﺪﻟﺍﻭ ﺖﻴﻤﻠﻟ
ﻲﺤﻠﻟﻭ ﺓﺮﻔﻐﻤﻟﺎﺑ ،ﺔﺒﻴﺼﻤﻟﺍ ﺮﺒﺠﺑ ﻝﺎﻘﻴﻓ :ﺎﻬﻴﻓ
ﻢﻈﻋﺃ ﻦﺴﺣﺃﻭ ،ﻙﺮﺟﺃ ﻪﻠﻟﺍ ،ﻙﺀﺍﺰﻋ ﺮﻔﻏﻭ ،ﻚﺘﻴﻤﻟ
ﺮﺒﺟﻭ ،ﻚﺘﻴﺼﻌﻣ ﻒﻠﺧﺃ ﻭﺃ ،ﻚﻴﻠﻋ ﻭﺃ ﻮﺤﻧ ﺍﺬﻫﻭ.ﻚﻟﺫ
ﻲﻓ ﺔﻳﺰﻌﺗ .ﻢﻠﺴﻤﻟﺎﺑ ﻢﻠﺴﻤﻟﺍ
ﺎﻣﺃﻭ ﺔﻳﺰﻌﺗ ﺮﻓﺎﻜﻟﺎﺑ ﻢﻠﺴﻤﻟﺍ ﻼﻓ ﻝﺎﻘﻳ :ﺎﻬﻴﻓ
ﺮﻔﻏﻭ ،ﻚﺘﻴﻤﻟ ﻥﻻ ﻪﻠﻟﺍ ﻻ ﺮﻔﻐﻳ .ﺮﻔﻜﻟﺍ
ﺔﺒﺤﺘﺴﻣ ﻲﻫﻭ ﻲﻀﻣ ﻞﺒﻗ ﺔﺛﻼﺛ ﻡﺎﻳﺃ ﻦﻣ
ﻩﺮﻜﺗﻭ ،ﺕﻮﻤﻟﺍ ﺪﻌﺑ ﻥﺃ ﻦﺴﻳﻭ.ﺎﻬﻴﻀﻣ ﺎﻬﺑ ﻢﻌﻳ
ﻊﻴﻤﺟ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻞﻫﺃ ﻦﻣ ،ﺮﻴﺒﻛﻭﺮﻴﻐﺻ ،ﺓﺃﺮﻣﺍﻭ ﻞﺟﺭﻭ
ﻻﺇ ﺔﺑﺎﺷ ﺩﺮﻣﺃﻭ ﻼﻓ ،ﺎﻨﺴﺣ ﺎﻤﻬﻳﺰﻌﻳ ﻻﺇ
،ﺎﻤﻬﻣﺭﺎﺤﻣ ﻩﺮﻜﻳﻭ.ﺎﻤﻬﺟﻭﺯﻭ ﺀﺍﺪﺘﺑﺍ ﺎﻤﻬﻟ ﻲﺒﻨﺟﺃ
،ﺔﻳﺰﻌﺘﻟﺎﺑ ﻞﺑ ﺔﻣﺮﺤﻟﺍ ﻞﻫﻻ ﻩﺮﻜﻳﻭ.ﺏﺮﻗﺃ ﺖﻴﻤﻟﺍ
ﻊﻨﺻﻭ ،ﺔﻳﺰﻌﺘﻠﻟ ﺱﻮﻠﺠﻟﺍ ﻡﺎﻌﻃ ﻥﻮﻌﻤﺠﻳ ﺱﺎﻨﻟﺍ
،ﻪﻴﻠﻋ ﺎﻤﻟ ﻯﻭﺭ ﻦﻋ ﺪﻤﺣﺃ ﺮﻳﺮﺟ ﺪﺒﻋ ﻦﺑ ﻪﻠﻟﺍ
،ﻲﻠﺠﺒﻟﺍ ﺎﻨﻛ :ﻝﺎﻗ ﺪﻌﻧ ﻰﻟﺇ ﻉﺎﻤﺘﺟﻻﺍ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻞﻫﺃ
ﻢﻬﻌﻨﺻﻭ ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﺪﻌﺑ ﻪﻨﻓﺩ ﻦﻣ ،ﺔﺣﺎﻴﻨﻟﺍ
ﺐﺤﺘﺴﻳﻭ ﻥﺍﺮﻴﺠﻟ ﻞﻫﺃ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻮﻟﻭ - ﺐﻧﺎﺟﺃ -
ﻢﻬﻓﺭﺎﻌﻣﻭ ﻥﺇﻭ - ﻢﻟ ﺍﻮﻧﻮﻜﻳ ﺎﻧﺍﺮﻴﺟ - ﻪﺑﺭﺎﻗﺃﻭ
ﺪﻋﺎﺑﻻﺍ - ﻥﺇﻭ ﺍﻮﻧﺎﻛ ﺮﻴﻐﺑ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﺪﻠﺑ ﻥﺃ - ﺍﻮﻌﻨﺼﻳ
ﻪﻠﻫﻻ ﻢﻬﻴﻔﻜﻳ ﺎﻣﺎﻌﻃ ﺎﻣﻮﻳ ،ﺔﻠﻴﻟﻭ ﻥﺃﻭ ﺍﻮﺤﻠﻳ
ﻢﻬﻴﻠﻋ ﻪﻌﻨﺻ ﻡﺮﺤﻳﻭ.ﻞﻛﻻﺍ ﻲﻓ ،ﺔﺤﺋﺎﻨﻠﻟ ﻪﻧﻻ
ﺔﻧﺎﻋﺇ ﻰﻠﻋ .ﺔﻴﺼﻌﻣ
ﺖﻌﻠﻃﺍ ﺪﻗﻭ ﻰﻠﻋ ﻝﺍﺆﺳ ﻲﺗﺎﻔﻤﻟ ﻊﻓﺭ ﺔﻜﻣ
ﺎﻤﻴﻓ ﺔﻓﺮﺸﻤﻟﺍ ﻪﻠﻌﻔﻳ ﻞﻫﺃ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻦﻣ
ﻢﻬﻨﻣ ﺏﺍﻮﺟﻭ.ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ .ﻚﻟﺬﻟ
.(ﺎﻤﻬﺗﺭﻮﺻﻭ)
ﺎﻣ ﻲﺗﺎﻔﻤﻟﺍ ﻝﻮﻗ ﻡﺍﺮﻜﻟﺍ ﺪﻠﺒﻟﺎﺑ ﻡﺍﺩ ﻡﺍﺮﺤﻟﺍ
ﻯﺪﻣ ﻡﺎﻧﻼﻟ ﻢﻬﻌﻔﻧ ،ﻡﺎﻳﻻﺍ ﻲﻓ ﻑﺮﻌﻟﺍ ﺹﺎﺨﻟﺍ
ﻲﻓ ﺓﺪﻠﺑ ﺎﻬﺑ ﻦﻤﻟ ﻦﻣ ﺺﺨﺸﻟﺍ ﻥﺃ ﺹﺎﺨﺷﻻﺍ ﺍﺫﺇ
ﻞﻘﺘﻧﺍ ﻰﻟﺇ ﺭﺍﺩ ،ﺀﺍﺰﺠﻟﺍ ﻪﻓﺭﺎﻌﻣ ﺮﻀﺣﻭ ﻪﻧﺍﺮﻴﺟﻭ
،ﺀﺍﺰﻌﻟﺍ ﻯﺮﺟ ﻑﺮﻌﻟﺍ ﻥﻭﺮﻈﺘﻨﻳ ﻢﻬﻧﺄﺑ ،ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ
ﻦﻣﻭ ﺀﺎﻴﺤﻟﺍ ﺔﺒﻠﻏ ﻰﻠﻋ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻞﻫﺃ ﻥﻮﻔﻠﻜﺘﻳ
ﻥﻮﺌﻴﻬﻳﻭ ،ﻡﺎﺘﻟﺍ ﻒﻠﻜﺘﻟﺍ ﻢﻬﻟ ﺔﻤﻌﻃﺃ ،ﺓﺪﻳﺪﻋ
ﺎﻬﻧﻭﺮﻀﺤﻳﻭ ﺔﻘﺸﻤﻟﺎﺑ ﻢﻬﻟ ﻞﻬﻓ.ﺓﺪﻳﺪﺸﻟﺍ ﻮﻟ
ﺩﺍﺭﺃ ﺲﻴﺋﺭ ﻡﺎﻜﺤﻟﺍ - ﻪﻟ ﺎﻤﺑ ﻖﻓﺮﻟﺍ ﻦﻣ ،ﺔﻴﻋﺮﻟﺎﺑ
ﺔﻘﻔﺸﻟﺍﻭ ﻰﻠﻋ ﻲﻟﺎﻫﻻﺍ ﻩﺬﻫ ﻊﻨﻤﺑ - ﺔﻴﻀﻘﻟﺍ
ﺍﻭﺩﻮﻌﻴﻟ ﺔﻴﻠﻜﻟﺎﺑ ﺔﻨﺴﻟﺎﺑ ﻚﺴﻤﺘﻟﺍ ﻰﻟﺇ ،ﺔﻴﻨﺴﻟﺍ
ﺮﻴﺧ ﻦﻋ ﺓﺭﻮﺛﺄﻤﻟﺍ ﺔﻳﺮﺒﻟﺍ ﻰﻟﺇﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﺑﺭ ﺓﻼﺻ
ﺚﻴﺣ ،ﺎﻣﻼﺳﻭ ﺍﻮﻌﻨﺻﺍ :ﻝﺎﻗ ﻝﻵ ﺎﻣﺎﻌﻃ ﺮﻔﻌﺟ
ﻰﻠﻋ ﺏﺎﺜﻳ ﻊﻨﻤﻟﺍ ﺍﺬﻫ ﺭﻮﻛﺬﻤﻟﺍ ؟ ﺍﻭﺪﻴﻓﺃ ﺏﺍﻮﺠﻟﺎﺑ
ﺎﻤﺑ ﻮﻫ ﻝﻮﻘﻨﻣ .ﺭﻮﻄﺴﻣﻭ
ﺪﻤﺤﻟﺍ) (ﻩﺪﺣﻭ ﻪﻠﻟ ﻰﻠﺻﻭ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﻋ
ﺪﻤﺤﻣ ﺎﻧﺪﻴﺳ ﻰﻠﻋﻭ ﻪﺒﺤﺻﻭ ﻪﻟﺁ ﻦﻴﻜﻟﺎﺴﻟﺍﻭ
ﻢﻬﺠﻬﻧ ﻢﻬﻠﻟﺍ.ﻩﺪﻌﺑ ﻚﻟﺄﺳﺃ .ﺏﺍﻮﺼﻠﻟ ﺔﻳﺍﺪﻬﻟﺍ
ﺎﻣ ،ﻢﻌﻧ ﻪﻠﻌﻔﻳ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﺪﻨﻋ ﻉﺎﻤﺘﺟﻻﺍ ﻞﻫﺃ
ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻊﻨﺻﻭ ﻦﻣ ،ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﻉﺪﺒﻟﺍ ﻲﺘﻟﺍ ﺓﺮﻜﻨﻤﻟﺍ
ﻰﻠﻋ ﺏﺎﺜﻳ ﺎﻬﻌﻨﻣ ﺮﻣﻻﺍ ﻲﻟﺍﻭ، ﺖﺒﺛ ﻪﺑ ﻪﻠﻟﺍ
ﺪﻳﺃﻭ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﺪﻋﺍﻮﻗ .ﻦﻴﻤﻠﺴﻤﻟﺍﻭ ﻡﻼﺳﻻﺍ ﻪﺑ
ﺔﻣﻼﻌﻟﺍ ﻝﺎﻗ ﺪﻤﺣﺃ ﻦﺑ ﺮﺠﺣ ﻲﻓ ﺔﻔﺤﺗ) ﺝﺎﺘﺤﻤﻟﺍ
ﻚﺣﺮﺸﻟ ﻦﺴﻳﻭ :(ﺝﺎﻬﻨﻤﻟﺍ ﻥﺍﺮﻴﺠﻟ - ﻪﻠﻫﺃ ﻱﺃ
ﺖﻴﻤﻟﺍ - ﻡﺎﻌﻃ ﺔﺌﻴﻬﺗ ﻢﻬﻌﺒﺸﻳ ﻢﻬﻣﻮﻳ
،ﻢﻬﺘﻠﻴﻟﻭ ﺮﺒﺨﻠﻟ ﺍﻮﻌﻨﺻﺍ.ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ ﻝﻵ ﺮﻔﻌﺟ ﺎﻣﺎﻌﻃ
ﺪﻘﻓ ﺎﻣ ﻢﻫﺀﺎﺟ .ﻢﻬﻠﻐﺸﻳ
ﺢﻠﻳﻭ ﻢﻬﻴﻠﻋ ﻞﻛﻻﺍ ﻲﻓ ،ﺎﺑﺪﻧ ﻢﻬﻧﻻ ﺪﻗ ﻪﻧﻮﻛﺮﺘﻳ
،ﺀﺎﻴﺣ ﻭﺃ ﻁﺮﻔﻟ ﻪﺌﻴﻬﺗ ﻡﺮﺤﻳﻭ.ﻉﺰﺟ ﺕﺎﺤﺋﺎﻨﻠﻟ ﻪﻧﻻ
ﺔﻧﺎﻋﺇ ﻰﻠﻋ ،ﺔﻴﺼﻌﻣ ﺎﻣﻭ ﺪﻴﺘﻋﺍ ﻦﻣ ﻞﻌﺟ ﻞﻫﺃ
ﺖﻴﻤﻟﺍ ﺎﻣﺎﻌﻃ ﺍﻮﻋﺪﻴﻟ ﺱﺎﻨﻟﺍ ،ﻪﻴﻟﺇ ﺔﻋﺪﺑ ﺔﻫﻭﺮﻜﻣ
- ﻢﻬﺘﺑﺎﺟﺈﻛ ،ﻚﻟﺬﻟ ﻦﻋ ﺢﺻ ﺎﻤﻟ ﺮﻳﺮﺟ ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ
ﺪﻌﻧ ﺎﻨﻛ.ﻪﻨﻋ ﻰﻟﺇ ﻉﺎﻤﺘﺟﻻﺍ ﻞﻫﺃ ﻢﻬﻌﻨﺻﻭ ﺖﻴﻤﻟﺍ
ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﺪﻌﺑ ﻦﻣ ﻪﻨﻓﺩ .ﺔﺣﺎﻴﻨﻟﺍ
ﻪﺟﻭﻭ ﻩﺪﻋ ﻦﻣ ﺎﻣ ﺔﺣﺎﻴﻨﻟﺍ ﻪﻴﻓ ﺓﺪﺷ ﻦﻣ
ﻡﺎﻤﺘﻫﻻﺍ ﺮﻣﺄﺑ .ﻥﺰﺤﻟﺍ
ﻢﺛ ﻦﻣﻭ ﻩﺮﻛ ﻉﺎﻤﺘﺟﺍ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻞﻫﺃ ﺍﻭﺪﺼﻘﻴﻟ
ﻞﺑ ،ﺀﺍﺰﻌﻟﺎﺑ ﻥﺃ ﻲﻐﺒﻨﻳ ﺍﻮﻓﺮﺼﻨﻳ ﻲﻓ ،ﻢﻬﺠﺋﺍﻮﺣ
ﻦﻤﻓ ﻢﻬﻓﺩﺎﺻ .ﻢﻫﺍﺰﻋ
.ﻩﺍ
ﺔﻴﺷﺎﺣ ﻲﻓﻭ ﺔﻣﻼﻌﻟﺍ ﻞﻤﺠﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺡﺮﺷ :ﺞﻬﻨﻤﻟﺍ
ﻦﻣﻭ ﺓﺮﻜﻨﻤﻟﺍ ﻉﺪﺒﻟﺍ ﻩﻭﺮﻜﻤﻟﺍﻭ ﺎﻣ :ﺎﻬﻠﻌﻓ ﻪﻠﻌﻔﻳ
ﻦﻣ ﺱﺎﻨﻟﺍ ،ﻦﻴﻌﺑﺭﻻﺍﻭ ﻊﻤﺠﻟﺍﻭﺔﺸﺣﻮﻟﺍ ﻞﻛ ﻞﺑ ﻚﻟﺫ
ﻥﺇ ﻡﺍﺮﺣ ﻥﺎﻛ ﻦﻣ ﻝﺎﻣ ،ﺭﻮﺠﺤﻣ ﻭﺃ ﻦﻣ ﺖﻴﻣ ﻪﻴﻠﻋ
،ﻦﻳﺩ ﻭﺃ ﺐﺗﺮﺘﻳ ﻭﺃ ،ﺭﺮﺿ ﻪﻴﻠﻋ ﻮﺤﻧ .ﻚﻟﺫ
ﺪﻗﻭ.ﻩﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻝﺎﻗ ﻪﻠﻟﺍ (ﺹ) ﻝﻼﺒﻟ ﺙﺮﺤﻟﺍ ﻦﺑ
ﻲﺿﺭ ﻪﻠﻟﺍ :ﻪﻨﻋ ﺎﻳ ﻦﻣ ﻝﻼﺑ ﺎﻴﺣﺃ ﺔﻨﺳ ﻦﻣ ﻲﺘﻨﺳ
ﺖﺘﻴﻣﺃ ﺪﻗ ﻦﻣ ،ﻱﺪﻌﺑ ﻪﻟ ﻥﺎﻛ ﻦﻣ ﺮﺟﻻﺍ ﻞﺜﻣ ﻦﻣ
،ﺎﻬﺑ ﻞﻤﻋ ﻻ ﺺﻘﻨﻳ ﻦﻣ ﻢﻫﺭﻮﺟﺃ .ﺎﺌﻴﺷ
ﻦﻣﻭ ﻉﺪﺘﺑﺍ ﺔﻟﻼﺿ ﺔﻋﺪﺑ ﻻ ﺎﻫﺎﺿﺮﻳ ﻪﻠﻟﺍ ،ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ
ﻥﺎﻛ ﻪﻴﻠﻋ ﻞﺜﻣ ﻞﻤﻋ ﻦﻣ ،ﺎﻬﺑ ﻻ ﺺﻘﻨﻳ ﻦﻣ
ﻢﻫﺭﺍﺯﻭﺃ ﻝﺎﻗﻭ.ﺎﺌﻴﺷ ﻥﺇ :(ﺹ) ،ﻦﺋﺍﺰﺧ ﺮﻴﺨﻟﺍ ﺍﺬﻫ
،ﺢﻴﺗﺎﻔﻣ ﻦﺋﺍﺰﺨﻟﺍ ﻚﻠﺘﻟ ﻰﺑﻮﻄﻓ ﺪﺒﻌﻟ ﻪﻠﻌﺟ ﻪﻠﻟﺍ
ﻞﻳﻭﻭ.ﺮﺸﻠﻟ ﺎﻗﻼﻐﻣ ،ﺮﻴﺨﻠﻟ ﺎﺣﺎﺘﻔﻣ ﺪﺒﻌﻟ ﻪﻠﻌﺟ ﻪﻠﻟﺍ
ﺎﻗﻼﻐﻣ ،ﺮﺸﻠﻟ ﺎﺣﺎﺘﻔﻣ .ﺮﻴﺨﻠﻟ
ﻻﻭ ﻚﺷ ﻊﻨﻣ ﻥﺃ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﺓﺮﻜﻨﻤﻟﺍ ﺔﻋﺪﺒﻟﺍ ﻩﺬﻫ
ﺀﺎﻴﺣﺇ ﻪﻴﻓ ،ﺔﻨﺴﻠﻟ ﻪﺗﺎﻣﺇﻭ ،ﺔﻋﺪﺒﻠﻟ ﺮﻴﺜﻜﻟ ﺢﺘﻓﻭ ﻦﻣ
ﺏﺍﻮﺑﺃ ،ﺮﻴﺨﻟﺍ ﺮﻴﺜﻜﻟ ﻖﻠﻏﻭ ﻦﻣ ﺏﺍﻮﺑﺃ ﺮﺸﻟﺍ، ﻥﺈﻓ
ﻥﻮﻔﻠﻜﺘﻳ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻔﻠﻜﺗ ،ﺍﺮﻴﺜﻛ ﻥﺃ ﻰﻟﺇ ﻱﺩﺆﻳ ﻥﻮﻜﻳ
ﻚﻟﺫ ﻊﻨﺼﻟﺍ ﻪﻠﻟﺍﻭ.ﺎﻣﺮﺤﻣ ﻪﻧﺎﺤﺒﺳ ﻰﻟﺎﻌﺗﻭ .ﻢﻠﻋﺃ
ﻲﺠﺗﺮﻤﻟﺍ ﻪﺒﺘﻛ ﻦﻣ :ﻥﺍﺮﻔﻐﻟﺍ ﻪﺑﺭ ﺪﻤﺣﺃ ﻦﺑ ﻲﻨﻳﺯ
ﻥﻼﺣﺩ - ﻲﺘﻔﻣ ﺔﻴﻌﻓﺎﺸﻟﺍ ﺔﻜﻤﺑ ﺔﻴﻤﺤﻤﻟﺍ - ﺮﻔﻏ
،ﻪﻟ ﻪﻠﻟﺍ ،ﻪﻳﺪﻟﺍﻮﻟﻭ .ﻦﻴﻤﻠﺴﻤﻟﺍﻭ ،ﻪﺨﻳﺎﺸﻣﻭ
ﺪﻤﺤﻟﺍ) (ﻪﻠﻟ ﻦﻣ ﻥﻮﻜﻟﺍ ﺪﻤﻣ ﻖﻴﻓﻮﺘﻟﺍ ﺪﻤﺘﺳﺃ
،ﻢﻌﻧ.ﻥﻮﻌﻟﺍﻭ ﺏﺎﺜﻳ ﺮﻣﻻﺍ ﻲﻟﺍﻭ - ﻒﻋﺎﺿ ﻪﻟ ﻪﻠﻟﺍ
،ﺮﺟﻻﺍ ﻩﺪﻴﻳﺄﺘﺑ ﻩﺪﻳﺃﻭ - ﻰﻠﻋ ﻢﻬﻌﻨﻣ ﻚﻠﺗ ﻦﻋ
ﺭﻮﻣﻻﺍ ﻲﺘﻟﺍ ﻲﻫ ﻦﻣ ﻉﺪﺒﻟﺍ ﺪﻨﻋ ﺔﺤﺒﻘﺘﺴﻤﻟﺍ
.ﺭﻮﻬﻤﺠﻟﺍ
ﻝﺎﻗ ﻲﻓ ﺭﺎﺘﺤﻤﻟﺍ ﺩﺭ) ﺖﺤﺗ ﻝﻮﻗ ﺭﺍﺪﻟﺍ (ﺭﺎﺘﺨﻤﻟﺍ ﺎﻣ
:ﻪﺼﻧ ﻝﺎﻗ ﻲﻓ :ﺢﺘﻔﻟﺍ ﺐﺤﺘﺴﻳﻭ ﻥﺍﺮﻴﺠﻟ ﻞﻫﺃ
،ﺖﻴﻤﻟﺍ ﺀﺎﺑﺮﻗﻻﺍﻭ ﺔﺌﻴﻬﺗ ،ﺪﻋﺎﺑﻻﺍ ﻡﺎﻌﻃ ﻢﻬﻟ
ﻢﻬﻌﺒﺸﻳ ﻢﻬﻣﻮﻳ ،ﻢﻬﺘﻠﻴﻟﻭ ﻪﻟﻮﻘﻟ ﺍﻮﻌﻨﺻﺍ :(ﺹ)
ﻝﻵ ﺮﻔﻌﺟ
ﺎﻣﺎﻌﻃ
ﺎﻣ) ﻢﻫﺀﺎﺟ ﺪﻘﻓ ﻪﻨﺴﺣ.ﻢﻬﻠﻐﺸﻳ ﺎﻣ ،ﻱﺬﻣﺮﺘﻟﺍ
ﻪﺤﺤﺻﻭ .ﻢﻛﺎﺤﻟﺍ
ﻪﻧﻻﻭ ﺮﺑ ،ﻑﻭﺮﻌﻣﻭ ﻢﻬﻴﻠﻋ ﺢﻠﻳﻭ ،ﻞﻛﻻﺍ ﻲﻓ ﻥﻻ
ﻥﺰﺤﻟﺍ ﻢﻬﻌﻨﻤﻳ ﻦﻣ ،ﻚﻟﺫ ﻥﻮﻔﻌﻀﻴﻓ ﻝﺎﻗﻭ.ﺬﺌﻨﻴﺣ
:ﺎﻀﻳﺃ ﺔﻓﺎﻴﻀﻟﺍ ﻩﺮﻜﻳﻭ ﻦﻣ ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﻦﻣ ﻞﻫﺃ
ﺖﻴﻤﻟﺍ، ﻉﺮﺷ ﻪﻧﻻ ﻲﻫﻭ ،ﺭﻭﺮﺴﻟﺍ ﻲﻓ ﻯﻭﺭ.ﺔﻋﺪﺑ
ﻡﺎﻣﻻﺍ ﺪﻤﺣﺃ ﻦﺑﺍﻭ ،ﺢﻴﺤﺻ ﺩﺎﻨﺳﺈﺑ ﻪﺟﺎﻣ ﻦﻋ ﺮﻳﺮﺟ
ﺪﺒﻋ ﻦﺑ ،ﻪﻠﻟﺍ :ﻝﺎﻗ ﺪﻌﻧ ﺎﻨﻛ ﻰﻟﺇ ﻉﺎﻤﺘﺟﻻﺍ ﻞﻫﺃ
ﻢﻬﻌﻨﺻﻭ ﺖﻴﻤﻟﺍ ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﻦﻣ .ﻩﺍ.ﺔﺣﺎﻴﻨﻟﺍ
:ﺯﺍﺰﺒﻟﺍ ﻲﻓﻭ ﻩﺮﻜﻳﻭ ﺫﺎﺨﺗﺍ ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ ﻲﻓ ﻡﻮﻴﻟﺍ
ﻝﻭﻻﺍ ﺚﻟﺎﺜﻟﺍﻭ ﺪﻌﺑﻭ ﻉﻮﺒﺳﻻﺍﻞﻘﻧﻭ ، ﻰﻟﺇ ﻡﺎﻌﻄﻟﺍ
ﺮﺒﻘﻟﺍ ﻲﻓ ﻪﻣﺎﻤﺗﻭ.ﺦﻟﺇ ﻢﺳﺍﻮﻤﻟﺍ ﻦﻤﻓ ،ﻪﻴﻓ ﺀﺎﺷ
ﻪﻠﻟﺍﻭ.ﻊﺟﺍﺮﻴﻠﻓ ﻪﻧﺎﺤﺒﺳ ﻰﻟﺎﻌﺗﻭ ﻪﺒﺘﻛ.ﻢﻠﻋﺃ ﻡﺩﺎﺧ
ﺔﻌﻳﺮﺸﻟﺍ :ﺝﺎﻬﻨﻤﻟﺍﻭ ﻦﺑ ﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﺪﺒﻋ ﻪﻠﻟﺍ
،ﺝﺍﺮﺳ ،ﻲﻔﻨﺤﻟﺍ ﻲﺘﻔﻣ ﺔﻜﻣ - ﺔﻣﺮﻜﻤﻟﺍ ﻥﺎﻛ ﻪﻠﻟﺍ
ﺎﻤﻬﻟ ﺍﺪﻣﺎﺣ ﺎﻤﻠﺴﻣ ﺎﻴﻠﺼﻣ
Terjemahan kalimat yang telah digaris
bawahi di atas, di dalam Kitab I'anatut
Thalibin :
1. Ya, apa yang dikerjakan orang,
yaitu berkumpul di rumah
keluarga mayit dan
dihidangkannya makanan untuk
itu, adalah termasuk Bid'ah
Mungkar, yang bagi orang (ulil
amri) yang melarangnya akan
diberi pahala.
2. Dan apa yang telah menjadi
kebiasaan, ahli mayit membuat
makanan untuk orang-orang yang
diundang datang padanya, adalah
Bid'ah yang dibenci.
3. Dan tidak diragukan lagi
bahwa melarang orang-orang
untuk melakukan Bid'ah
Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan :
red) adalah menghidupkan
Sunnah, mematikan Bid'ah,
membuka banyak pintu
kebaikan, dan menutup banyak
pintu keburukan.
4. Dan dibenci bagi para tamu
memakan makanan keluarga
mayit, karena telah disyari'atkan
tentang keburukannya, dan
perkara itu adalah Bid'ah. Telah
diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Ibnu Majah dengan sanad
yang Shahih, dari Jarir ibnu
Abdullah, berkata : "Kami
menganggap berkumpulnya
manusia di rumah keluarga mayit
dan dihidangkan makanan ,
adalah termasuk Niyahah"
5. Dan dibenci menyelenggarakan
makanan pada hari pertama,
ketiga, dan sesudah seminggu
dst.
Hasil scan halaman kitab I'anatut Thalibin
Juz 2 hal. 165 -166
Muhammadiyah, PERSIS dan Al Irsyad,
sepakat mengatakan bahwa Tahlilan
(Selamatan Kematian) adalah perkara
bid'ah, dan harus ditinggalkan
Dari Thalhah: "Sahabat Jarir mendatangi
sahabat Umar, Umar berkata: Apakah
kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir
menjawab: Tidak, Umar berkata: Apakah
di antara wanita-wanita kalian semua
suka berkumpul di rumah keluarga mayit
dan memakan hidangannya? Jarir
menjawab: Ya, Umar berkata: Hal itu sama
dengan meratap". (al-Mashnaf ibn Aby
Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad,
1409), juz II hal 487) dari Sa'ied bin Jabir
dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian
dikeluarkan pula oleh Abd al-Razaq:
"Merupakan perbuatan orang-orang
jahiliyyah niyahah , hidangan dari
keluarga mayit, dan menginapnya para
wanita di rumah keluarga mayit". (al-
Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan'any
(Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III,
hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi
Syaibah dengan lafazh berbeda melalui
sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-
Kariem, Sa'ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby
Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara
kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari
Qais, beliau berkata: saya melihat Umar
bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit
mengadakan perkumpulan, kemudian
berkata: kalian akan mendapat bencana
dan akan merugi".
Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah
berbicara kepada kami, Waki' bin Jarrah
dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al
Bukhtary, beliau berkata: Makanan yang
dihidangkan keluarga mayat adalah
merupakan bagian dari perbuatan
Jahiliyah dan meratap merupakan bagian
dari perbuatan jahiliyah".
Syekh
Nawawi al-
Bantani,
Syekh
Arsyad al-
Banjary dan
Syekh
Nuruddin
ar- Raniry
yang
merupakan
peletak
dasar-dasar
pesantren di
Indonesia
pun masih
berpegang kuat dalam menganggap
buruknya selamatan kematian itu.
“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai
dengan tuntunan syara' adalah
dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan
dengan hari ke tujuh atau hari- hari
lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf,
telah berjalan kebiasaan di antara orang-
orang yang melakukan shadaqah untuk
mayit dengan dikaitkan terhadap hari
ketiga dari kematiannya, atau hari ke
tujuh, atau keduapuluh, atau
keempatpuluh, atau keseratus dan
sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun
dari kematiannya, padahal hal tersebut
hukumnya makruh. Demikian pula makruh
hukumnya menghidangkan makanan yang
ditujukan bagi orang-orang yang
berkumpul pada malam penguburan
mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan
haram hukumhukumnya biayanya berasal
dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-
Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-
Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).
Pernyataan senada juga diungkapkan
Muhammad Arsyad al-Banjary dalam
Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr)
juz II, hal 87, serta Nurudin al-Raniry
dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar
al-Fikr) juz II, hal 50) Dari majalah al-
Mawa'idz yang diterbitkan oleh NU pada
tahun 30-an , menyitir pernyataan Imam
al-Khara'ithy yang dilansir oleh kitab al-
Aqrimany disebutkan: "al-Khara'ithy
mendapat keterangan dari Hilal bin
Hibban r.a, beliau berkata: 'Penghidangan
makanan oleh keluarga mayit merupakan
bagian dari perbuatan orang-orang
jahiliyah'. kebiasaan tersebut oleh
masyarakat sekarang sudah dianggap
sunnah, dan meninggalkannya berarti
bid'ah, maka telah terbalik suatu urusan
dan telah berubah suatu kebiasaan'. (al-
Aqrimany dalam al-Mawa'idz;
Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).
Scan Kitab Kuning Sabilal Muhtadin
(versi Arab Melayu) ditulis oleh
Syaikh Muhammad Arsyad Al
Banjari (bemazhab Syafi'i) . Pada
halaman 87 juz 2 , beliau
mengatakan :
Makruh lagi bid'ah bagi yang
kematian memperbuat makanan
yang diserukannya sekalian manusia
atas memakannya, sebelum dan
sesudah kematian seperti yang
sudah menjadi kebiasaan di
masyarakat
Scan halaman Kitab yang ditulis
oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al
Banjari, seorang ulama besar dari
Kalimantan Selatan yang bermazhab
Syafi'i. Beliau mengatakan :
" Makruh lagi bid'ah bagi yang
kematian membikin makanan untuk
dimakan oleh orang banyak baik
sebelum maupun sesudah
mengubur seperti kebiasaan
dikerjakan oleh masyarakat".
Lihat hal. 741 alinea terakhir Buku
Jilid 2, Bab Jenazah.
Al Mawa'idz merupakan sebuah nama
bagi majalah yang dikelola oleh organisasi
Nahdatul Ulama Tasikmalaya, terbit
sekitar pada tahun 30-an. Di dalam
majalah ini, pihak NU (yang biasa dikenal
sebagai pendukung acara prevalensi
perjamuan tahlilan) menyatakan sikap
yang sebenarnya terhadap kedudukan
hukum prevalensi tersebut. Berikut
kutipannya :
Tjindekna ngadamel rioengan di noe
kapapatenan teh, ngalanggar tiloe
perkara :
1. Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja
ari teu menta tea mah, orokaja da ari
geus djadi adat mah sok era oepama
henteu teh . Geura oepama henteu
sarerea mah ?
2. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur
mah loba kasoesah koe katinggal maot
oge, hajoh ditambahan.
3. Njoelajaan Hadits, koe hadits mah
ahli majit noe koedoe di bere koe
oerang, ieu mah hajoh oerang noe
dibere koe ahli majit.
Kesimpulannya mengadakan perjamuan
di rumah keluarga mayat yang sedang
berduka cita, berarti telah melanggar tiga
hal :
1. Membebani keluarga mayat, walaupun
tidak meminta untuk menyuguhkan
makanan, namun apabila sudah menjadi
kebiasaan, maka keluarga mayat akan
menjadi malu apabila tidak menyuguhkan
makanan. Tetapi coba kalau semua orang
tidak melakukan hal serupa itu ?
2. Merepotkan keluarga mayat, sudah
kehilangan anggota keluarga yang dicintai,
ditambah pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits.
Menurut hadits justru kita tetangga yang
harus mengirimkan makanan kepada
keluarga mayat yang sedang berduka cita,
bukan sebaliknya.
Kemudian ditempat lain :
Tah koe katerangan Sajjid Bakri dina
ieu kitab I'anah geuning geus ittifaq
oelama-oelama madhab noe 4 kana
paadatan ittiehadz tho'am (ngayakeun
kadaharan) ti ahli majit noe
diseboetkeun njoesoer tanah, tiloena,
toejoehna dj.s.t. njeboetkeun bid'ah
moenkaroh.
Nah, berdasarkan keterangan Sayid Bakr
di dalam kitab I'anah tersebut, ternyata
para ulama dari 4 mazhab telah
menyepakati bahwa kebiasaan keluarga
mayit mengadakan perjamuan yang biasa
disebut dengan istilah Nyusur Tanah,
tiluna (hari ketiganya), tujuhnya (hari
ketujuhnya), dst, merupakan perbuatan
bid'ah yang tidak disukai agama.
Selanjutnya :
Koeninga koe ieu toekilan-toekilan
noe ngahoekoeman bid'ah moenkaroh,
karohah haram teh geuning oelama-
oelama ahli soennah wal Djama'ah,
lain bae Attobib, Al Moemin, Al
Mawa'idz. Doeka anoe ngahoekoeman
soennat naha ahli Soennah wal
Djama'ah atawa sanes ?
Melalui kutipan-kutipan tersebut,
diketahui bahwa sebenarnya yang
menghukumi bid'ah mungkarah itu
ternyata ulama-ulama Ahlu Sunnah wal
Jama'ah, bukan hanya majalah Attobib, Al
Moemin, Al Mawa'idz. Tidak tahu siapa
yang menghukumi sunnat, apakah Ahlu
Sunnah wal Jama'ah atau bukan ?
Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa warga
Nu pada waktu itu sepakat pandangannya
terhadap hukum prevalensi perjamuan
tahlilan, yaitu bid'ah yang dimakruhkan
dengan makruh tahrim, (menjadi haram
karena sebab lain) apabila biaya
penyelenggaraan acara tersebut berasal
dari tirkah mayit (peninggalan mayit) yang
di dalamnya terdapat ahli waris yang
belum baligh atau mahjur 'alaihi ( di
bawah pengampuan/curatel).
Demikian isi majalah tersebut. [Al
Mawa'dz; Pangrodjong Nahdlatoel
Oelama Tasikmalaya (Tasikmalaya:
Nahdlatoel Oelama, 1933)]
Dan para ulama berkata: "Tidak pantas
orang Islam mengikuti kebiasaan orang
Kafir, oleh karena itu setiap orang
seharusnya melarang keluarganya dari
menghadiri acara semacam itu". (al-
Aqrimany hal 315 dalam al-Mawa'idz;
Pangrodjong Nahdlatoel Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285) Al-
Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam
kitabnya I'anah at- Thalibien menghukumi
makruh berkumpul bersama di tempat
keluarga mayat, walaupun hanya sebatas
untuk berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan
dengan proses perjamuan tahlilan. Beliau
justru menganjurkan untuk segera
meninggalkan keluarga tersebut, setelah
selesai menyampaikan ta'ziyah. (al-Sayyid
al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-
Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II,
hal 146)
Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan
tentang hukum dari al-Ma'tam: "Tidak
diterima keterangan mengenai perbuatan
tersebut apakah itu hadits shahih dari
Nabi, tidak pula dari sahabat-sahabatnya,
dan tidak ada seorangpun dari imam-
imam muslimin serta dari imam madzhab
yang empat (Imam Hanafy, Imam Maliki,
Imam Syafi'i, Imam Ahmad) juga dari
imam-imam yang lainnya, demikian pula
tidak terdapat keterangan dari ahli kitab
yang dapat dipakai pegangan, tidak pula
dari Nabi, sahabat, tabi'ien, baik shahih
maupun dlaif, serta tidak terdapat baik
dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan
ataupun musnad-musnad, serta tidak
diketahui pula satupun dalam hadits-
hadits dari zaman nabi dan sahabat.
" Menurut pendapat Mufty Makkah al-
Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan
yang dilansir dalam kitab I'anah at-
Thalibien: "Tidak diragukan lagi bahwa
mencegah masyarakat dari perbuatan
bid'ah munkarah tersebut adalah
mengandung arti menghidupkan
sunnah dan mematikan bid'ah,
sekaligus berarti menbuka banyak
pintu kebaikan dan menutup banyak
pintu keburukan" . (al-Sayyid al-Bakry
Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-Thalibien
juz II, hal 166) Memang seolah-olah
terdapat banyak unsur kebaikan dalam
tahlilan itu, namun bila dikembalikan ke
dalam hukum agama dimana Hadits ke-5
Arba’in an- Nawawiyah disebutkan: “Dari
Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah,
‘Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata
bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa
yang mengada-adakan sesuatu dalam
urusan agama kami ini yang bukan dari
kami, maka dia tertolak". (Bukhari no.
2697, Muslim no. 1718)
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah
instrumen untuk menjaga kemurnian
Islam ini meskipun sampai akhir zaman
Allah tidak mengutus Rasul lagi. Dibalik
larangan bid’ah terkandung hikmah yang
sangat besar, membentengi perubahan-
perubahan dalam agama akibat arus
pemikiran dan adat istiadat dari luar
Islam. Bila pada umat-umat terdahulu
telah menyeleweng agamanya, Allah
mengutus Rasul baru, maka pada umat
Muhammad ini Allah tidak akan mengutus
Rasul lagi sampai kiamat, namun
membangkitkan orang yang memperbarui
agamanya seiring penyelewengan yang
terjadi. Ibadah yang disunnahkan
dibandingkan dengan yang diada-adakan
hakikatnya sangat berbeda, bagaikan
uang/ijazah asli dengan uang/ijazah
palsu, meskipun keduanya tampak
sejenis. Yang membedakan 72 golongan
ahli neraka dengan 1 golongan ahli surga
adalah sunnah dan bid’ah. Umat ini tidak
berpecahbelah sehebat perpecahan yang
diakibatkan oleh bid’ah. Perpecahan umat
akibat perjudian, pencurian, pornografi,
dan kemaksiatan lain akan menjadi jelas
siapa yang berada di pihak Islam dan
sebaliknya. Sedang perpecahan akibat
bid’ah senantiasa lebih rumit, kedua
belah pihak yang bertikai kelihatannya
sama-sama alim. Ibn Abbas r.a berkata:
"Tidak akan datang suatu zaman kepada
manusia, kecuali pada zaman itu semua
orang mematikan sunnah dan
menghidupkan bid'ah, hingga matilah
sunnah dan hiduplah bid'ah. tidak akan
ada orang yang berusaha mengamalkan
sunnah dan mengingkari bid'ah, kecuali
orang tersebut diberi kemudahan oleh
Allah di dalam menghadapi segala
kecaman manusia yang diakibatkan karena
perbuatannya yang tidak sesuai dengan
keinginan mereka serta karena ia
berusaha melarang mereka melakukan
apa yang sudah dibiasakan oleh mereka,
dan barangsiapa yang melakukan hal
tersebut, maka Allah akan membalasnya
dengan berlipat kebaikan di alam
Akhirat".(al- Aqriman y hal 315 dalam al-
Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel
'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18,
hal.286)
Sekali lagi kami ulangi...
Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-
Mawa'idz bahwa mengadakan perjamuan
di rumah keluarga mayit berarti telah
melanggar tiga hal:
1. Membebani keluarga mayit,
walaupun tidak meminta untuk
menyuguhkan makanan, namun
apabila sudah menjadi kebiasaan,
maka keluarga mayit akan menjadi
malu apabila tidak menyuguhkan
makanan.
2. Merepotkan keluarga mayit,
sudah kehilangan anggota keluarga
yang dicintai, ditambah pula
bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits.
Menurut hadits, justeru kita
(tetangga) yang harus mengirimkan
makanan kepada keluarga mayit
yang sedang berduka cita, bukan
sebaliknya. (al-Mawa'idz;
Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama
Tasikmalaya, hal 200)
Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid
Bakr di dalam kitab 'Ianah, ternyata para
ulama dari empat madzhab telah
menyepakati bahwa kebiasaan keluarga
mayit mengadakan perjamuan yang biasa
disebut dengan istilah nyusur tanah,
tiluna, tujuhna, dst merupakan perbuatan
bid'ah yang tidak disukai agama (hal 285).
Melalui kutipan-kutipan tersebut,
diketahuilah bahwa sebenarnya yang
menghukumi bid'ah munkarah itu
ternyata ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa
al- Jamaah, bukan hanya (majalah)
Attobib, al-moemin, al-Mawa'idz. tidak
tau siapa yang menghukumi sunat,
apakah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau
bukan (hal 286). Dan dapat dipahami dari
dalil-dalil terdahulu, bahwa hukum dari
menghidangkan makanan oleh keluarga
mayit adalah bid'ah yang dimakruhkan
dengan makruh tahrim (makruh yang
identik dengan haram). demikian
dikarenakan hukum dari niyahah adalah
haram, dan apa yang dihubungkan
dengan haram, maka hukumnya adalah
haram". (al-Aqrimany hal 315 dalam al-
Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel
'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18,
hal.286) Kita tidaklah akan lepas dari
kesalahan, termasuk kesalahan akibat
ketidaktahuan, ketidaksengajaan, maupun
ketidakmampuan. Namun jangan sampai
kesalahan yang kita lakukan menjadi
sebuah kebanggaan. Baik yang
menghukumi haram maupun makruh,
sebagaimana halnya rokok, tahlilan, dll
selayaknya diusahakan untuk ditinggalkan,
bukan dibela-bela dan dilestarikan.
BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA
DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI
SELAMATAN KEMATIAN
I. MADZHAB HANAFI
HASYIYAH IBN ABIDIEN
Dimakruhkan hukumnya
menghidangkan makanan oleh
keluarga mayit, karena hidangan
hanya pantas disajikan dalam
momen bahagia, bukan dalam
momen musibah, hukumnya buruk
apabila hal tersebut dilaksanakan.
Imam Ahmad dan Ibnu Majah
meriwayatkan hadits dengan sanad
yang shahih dari sahabat Jarir bin
Abdullah, beliau berkata: "Kami
(para sahabat) menganggap
kegiatan berkumpul di rumah
keluarga mayit, serta penghidangan
makanan oleh mereka merupakan
bagian dari niyahah". Dan dalam
kitab al-Bazaziyah dinyatakan
bahwa makanan yang dihidangkan
pada hari pertama, ketiga, serta
seminggu setelah kematian makruh
hukumnya. (Muhammad Amin,
Hasyiyah Radd al- Muhtar 'ala al-
Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr,
1386) juz II, hal 240)
AL-THAHTHAWY
Hidangan dari keluarga mayit
hukumnya makruh, dikatakan dalam
kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan
makanan yang disajikan PADA HARI
PERTAMA, KETIGA, SERTA
SEMINGGU SETELAH KEMATIAN
MAKRUH HUKUMNYA. (Ahmad bin
Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah 'ala
Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah
al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal
409).
IBN ABDUL WAHID SIEWASY
Dimakruhkan hukumnya
menghidangkan makanan oleh
keluarga mayit, karena hidangan
hanya pantas disajikan dalam
momen bahagia, bukan dalam
momen musibah. hukumnya bid'ah
yang buruk apabila hal tersebut
dilaksanakan. Imam Ahmad dan
Ibnu Majah meriwayatkan sebuah
hadits dengan sanad yang shahih
dari sahabat Jarir bin Abdullah,
beliau berkata: "Kami (para
sahabat) menganggap kegiatan
berkumpul di rumah keluarga
mayit, serta penghidangan makanan
oleh mereka merupakan bagian dari
niyahah". (Ibn Abdul Wahid
Siewasy, Syarh Fath al-Qadir
(Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)
II.MADZHAB MALIKI
AL-DASUQY
Adapun berkumpul di dalam rumah
keluarga mayit yang menghidangkan
makanan hukumnya bid'ah yang
dimakruhkan. (Muhammad al-
Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy 'ala al-
Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr)
juz I, hal 419)
ABU ABDULLAH AL-MAGHRIBY
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit dan
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut dimakruhkan oleh
mayoritas ulama, bahkan mereka
menganggap perbuatan tersebut
sebagai bagian dari bid'ah , karena
tidak didapatkannya keterangan
naqly mengenai perbuatan tersebut,
dan momen tersebut tidak pantas
untuk dijadikan walimah (pesta)...
adapun apabila keluarga mayit
menyembelih binatang di rumahnya
kemudian dibagikan kepada orang-
orang fakir sebagai shadaqah untuk
mayit diperbolehkan selama hal
tersebut tidak menjadikannya riya,
ingin terkenal, bangga, serta
dengan syarat tidak boleh
mengumpulkan masyarakat. (Abu
Abdullah al-Maghriby, Mawahib al-
Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil
(Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal
228)
III.MADZHAB SYAFI’I
AL-SYARBINY
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit dan
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut, hukumnya bid'ah
yang tidak disunnahkan .
(Muhammad al-Khathib al-Syarbiny,
Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-
Fikr) juz I, hal 386) Adapun
kebiasaan keluarga mayit
menghidangkan makanan dan
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut, hukumnya bid'ah
yang tidak disunnahkan.
(Muhammad al-Khathib al-Syarbiny,
al-Iqna' li al-Syarbiny (Beirut: Dar
al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)
AL-QALYUBY
Guru kita al-Ramly telah berkata:
sesuai dengan apa yang dinyatakan
di dalam kitab al-Raudl (an-
Nawawy), sesuatu yang merupakan
bagian dari perbuatan bid'ah
munkarah yang tidak disukai
mengerjakannya adalah yang biasa
dilakukan oleh masyarakat berupa
menghidangkan makanan untuk
mengumpulkan tetangga, baik
sebelum maupun sesudah hari
kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-
Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar
Ihya;') juz I, hal 353)
AN-NAWAWY
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit berikut
berkumpulnya masyarakat dalam
acara tersebut tidak ada dalil
naqlinya, dan hal tersebut
merupakan perbuatan bid'ah yang
tidak disunnahkan . (an-Nawawy,
al-Majmu' (Beirut: Dar al-Fikr, 1417)
juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-
HAETAMY Dan sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan dari pada
penghidangan makanan oleh
keluarga mayit, dengan tujuan
untuk mengundang masyarakat,
hukumnya bid'ah munkarah yang
dimakruhkan, berdasarkan
keterangan yang shahih dari
sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn
Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj
(Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)
AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR
AL-DIMYATI
Dan sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan dari pada penghidangan
makanan oleh keluarga mayit,
dengan tujuan untuk mengundang
masyarakat, hukumnya bid'ah yang
dimakruhkan, seperti hukum
mendatangi undangan tersebut,
berdasarkan keterangan yang
shahih dari sahabat Jarir bin
Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu
Bakr al-Dimyati, I'anah at-Thalibien
(Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)
AL-AQRIMANY
Adapun makanan yang dihidangkan
oleh keluarga mayit pada hari
ketiga, keempat, dan sebagainya,
berikut berkumpulnya masyarakat
dengan tujuan sebagai pendekatan
diri serta persembahan kasih
sayang kepada mayit, hukumnya
bid'ah yang buruk dan merupakan
bagian dari perbuatan jahiliyah
yang tidak pernah muncul pada
abad pertama Islam, serta bukan
merupakan bagian dari pekerjaan
yang mendapat pujian oleh para
ulama. justeru para ulama berkata:
tidak pantas bagi orang muslim
mengikuti perbuatan-perbuatan
yang biasa dilakukan oleh orang
kafir. seharusnya setiap orang
melarang keluarganya menghadiri
acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany
hal 314 dalam al-Mawa'idz;
Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18,
hal.285)
RAUDLAH AL-THALIBIEN
Adapun penghidangan makanan
oleh keluarga mayit dan
pengumpulan masyarakat terhadap
acara tersebut, tidak ada dalil
naqlinya, bahkan perbuatan
tersebut hukumnya bid'ah yang
tidak disunnahkan . (Raudlah al-
Thalibien (Beirut: al- Maktab al-
Islamy, 1405) juz II, hal 145)
IV. MADZHAB HAMBALI
IBN QUDAMAH AL-MAQDISY
Adapun penghidangan makanan
untuk orang-orang yang dilakukan
oleh keluarga mayit, hukumnya
makruh. karena dengan demikian
berarti telah menambahkan
musibah kepada keluarga mayit,
serta menambah beban, sekaligus
berarti telah menyerupai apa yang
biasa dilakukan oleh orang-orang
jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa
Jarir mengunjungi Umar, kemudian
Umar berkata: "Apakah kalian suka
berkumpul bersama keluarga mayat
yang kemudian menghidangkan
makanan?" Jawab Jarir: "Ya".
Berkata Umar: "Hal tersebut
termasuk meratapi mayat".
Namun apabila hal tersebut
dibutuhkan, maka diperbolehkan,
seperti karena diantara pelayat
terdapat orang-orang yang jauh
tempatnya kemudian ikut menginap,
sementara tidak memungkinkan
mendapat makanan kecuali dari
hidangan yang diberikan dari
keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-
Maqdisy, al-Mughny (Beirut: Dar al-
Fikr, 1405) juz II, hal 214)
ABU ABDULLAH IBN MUFLAH
AL-MAQDISY
Sesungguhnya disunahkan
mengirimkan makanan apabila
tujuannya untuk (menyantuni)
keluarga mayit, tetapi apabila
makanan tersebut ditujukan bagi
orang-orang yang sedang
berkumpul di sana, maka hukumnya
makruh, karena berarti telah
membantu terhadap perbuatan
makruh; demikian pula makruh
hukumnya apabila makanan
tersebut dihidangkan oleh keluarga
mayit) kecuali apabila ada hajat,
tambah sang guru [Ibn Qudamah]
dan ulama lainnya).(A bu Abdullah
ibn Muflah al-Maqdisy, al-Furu' wa
Tashhih al-Furu' (Beirut: Dar al-
Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-
HANBALY
Menghidangkan makanan setelah
proses penguburan merupakan
bagian dari niyahah, menurut
sebagian pendapat haram , kecuali
apabila ada hajat, (tambahan dari
al-Mughny). Sanad hadits tentang
masalah tersebut tsiqat (terpercaya)
. (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly,
al-Mabda' fi Syarh al-
Miqna' (Beirut: al-Maktab al-Islamy,
1400) juz II, hal 283)
MANSHUR BIN IDRIS AL-
BAHUTY
Dan di makruh kan bagi keluarga
mayit untuk menghidangkan
makanan kepada para tamu,
berdasarkan keterangan riwayat
Imam Ahmad dari Shahabat Jarir.
(Manshur bin Idris al-Bahuty, al-
Raudl al-Marbi' (Riyadl: Maktabah
al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I,
hal 355)
KASYF AL-QANA'
Menurut pendapat Imam Ahmad
yang disitir oleh al-Marwadzi,
perbuatan keluarga mayit yang
menghidangkan makanan
merupakan kebiasaan orang
jahiliyah, dan beliau sangat
mengingkarinya...dan di makruhkan
keluarga mayit menghidangkan
makanan (bagi orang-orang yang
sedang berkumpul di rumahnya
kecuali apabila ada hajat, seperti
karena di antara para tamu tersebut
terdapat orang-orang yang tempat
tinggalnya jauh, mereka menginap
di tempat keluarga mayit, serta
secara adat tidak memungkinkan
kecuali orang tersebut diberi
makan), demikian pula
dimakruhkan mencicipi makanan
tersebut. Apabila biaya hidangan
makanan tersebut berasal dari
peninggalan mayit, sedang di antara
ahli warisnya terdapat orang
(lemah) yang berada di bawah
pengampuan, atau terdapat ahli
waris yang tidak memberi izin, maka
haram hukumnya melakukan
penghidangan tersebut. (Kasyf al-
Qina' (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz
II, hal 149)
IBN TAIMIYAH
Adapun penghidangan makanan
yang dilakukan keluarga mayit
(dengan tujuan) mengundang
manusia ke acara tersebut, maka
sesungguhnya perbuatan tersebut
bid'ah , berdasarkan perkataan Jarir
bin Abdillah: "Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di
rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari
niyahah". (Ibn Taimiyah, Kutub wa
Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-
Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz
24, hal 316)
Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat,
bila ada kesalahan mohon maaf dan
koreksinya. Sampaikanlah kepada
saudara-saudara kita sebagai upaya
untuk memperbaiki umat Islam ini
Di rujuk kepada tulisan:
Catatan Satu Hari, Satu Ayat Qur'an.
Dengan editing dan penambahan literatur
dan gambar halaman buku yang discan
oleh Anwar Baru Belajar.
http://www.facebook.com/note.php?
note_
id=402269969650&id=203164362857&ref=
mf
_________________________________________
______________
Catatan Tepi untuk direnungi:
Termasuk dalam kategori hukum yang
manakah Tahlilan [selamatan
Kematian] ?
Klasifikasi hukum dalam Islam secara
umum ada 5 (lima) kalau tidak termasuk;
Shahih, Rukhsoh, Bathil, Rukun, Syarat
dan 'Azimah.(Mabadi' awaliyyah, Abd
Hamid Hakim)
1. Wajib : Apabila dikerjakan
berpahala, ditinggalkan berdosa.
2. Sunnah/Mandub : Apabila
dikerjakan berpahala, ditinggalkan
tidak apa-apa.
3. Mubah : Tidak bernilai,
dikerjakan atau tidak dikerjakan
tidak mempunyai nilai.
4. Makruh : Dibenci, apabila
dikerjakan dibenci, apabila
ditinggalkan berpahala.
5. Haram : Dikerjakan berdosa,
ditinggalkan berpahala.
Pertanyaan :
1. Apakah Tahlilan [yang
dimaksud :Selamatan Kematian] di
dalamnya terkandung ibadah ?
2. Termasuk dalam hukum yang mana
Tahlilan tersebut ?
Jawab :
1. Karena didalamnya ada
pembacaan do'a, baca Yasin, baca
sholawat, baca Al Fatikhah, maka ia
termasuk ibadah. Hukum asal
ibadah adalah "haram" dan
"terlarang". Kalau Allah dan
Rasulullah tidak memerintahkan,
maka siapa yang memerintahkan ?
Apakah yang memerintahkan lebih
hebat daripada Allah dan Rasulullah
2. Jika hukumnya "wajib", maka bila
dikerjakan berpahala, bila tidak
dikerjakan maka berdosa. Maka bagi
negara lain yang penduduknya
beragama Islam, terhukumi berdosa
karena tidak mengerjakan. Ternyata
tahlilan, hanya di lakukan di
sebagian negara di Asia Tenggara
Wajibkah Tahlilan ? Ternyata tidak,
karena tidak ada perintah Allah dan
Rasul untuk melakukan ritual
tahlilan (Selamatan Kematian : red)
Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia
bukan sunnah Rasul, sebab
Rasulullah sendiri belum pernah
mentahlili istri beliau, anak beliau
dan para syuhada.
Nah…..berarti hukumnya bukan
Wajib, juga bukan Sunnah.
Kalau seandainya hukumnya
Mubah, maka untuk apa dikerjakan,
sebab ia tidak mempunyai nilai
(tidak ada pahala dan dosa, kalau
dikerjakan atau ditinggalkan). Sudah
buang-buang uang dan buang-
buang tenaga, tetapi tidak ada
nilainya.
Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang
tersisa, yaitu Makruh dan Haram.
Makruh apabila dikerjakan dibenci,
apabila ditinggalkan berpahala.
Haram : Dikerjakan berdosa,
ditinggalkan berpahala.
Jadi….sekarang pilih yang mana ? Masih
mau melakukan atau tidak ?
Home » artikel Islam
» Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama
(NU), Para Ulama Salafus salih,
WaliSongo, 4 Mahzab Tentang
Bid'ahnya Tahlilan
Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid'ahnya Tahlilan
Diposting oleh
Abu Jundi
—
Kamis, 04 Juli 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Belum ada komentar untuk "Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid'ahnya Tahlilan"
Tambahkan komentar anda :
Silakan tulis Komentar anda ...