Mengapa Tidak Beri’tikaf?

Bagian dari nilai yang terkandung dalam ibadah shaum adalah agar pencernaan tubuh manusia bisa menjalani rehat. Ini seperti dalam dunia pendidikan, di mana ada musim libur tahunan dalam rangka memperbaharui semangat belajar.
I’tikaf hampir sama dengan musim liburan yang merehatkan jiwa dan pikiran, bahkan fisik. I’tikaf merupakan pintu keluar seorang muslim dari rutinitas dan aktivitas kehidupan dunia berikut kesibukan dan kerumitannya. Seorang yang I’tikaf akan menghadap Penciptanya, Dzat Pencipta dunia seisinya ini. Seorang yang beri’tikaf sedang memutus dirinya dari kesibukan dunia dan memburu bekal perjalanan kehidupan yang ia butuhkan sampai hari ajal menjelang. Bukankah ini bagian yang kita pahami dari firman Allah swt. “Dan berbekallah, karena sebaik-baik bekal adalah takwa.”
Dalam I’tikaf, jika dilakukan dengan memenuhi syarat dan kondisi yang mendukung, berikut niat yang lurus, akan mengantarkan pelakunya menemukan dirinya yang sebenarnya di hadapan Allah swt. Tidak ada jarak antara dirinya dan Allah swt. Tidak ada makhluk yang merintanginya. Karena ia diciptakan dalam kondisi seorang sendiri, bertanggung jawab atas dirinya sendiri, dan akan datang pada hari kiamat seorang diri jua.
Dalam I’tikaf seseorang melakukan proses penguatan imannya kepada Allah swt. iman kepada Sang Pencipta, Dzat yang Mengendalikan segala sesuatu. Karena itu, siapa sebenarnya yang berhak untuk ditakuti?? Atau siapa yang layak ditakuti perhitungannya, selain dari Allah swt.??
Hari-Hari Tertentu
Pelaksanaan I’tikaf hanya beberapa waktu saja, sejumlah hitungan jari, yaitu sepuluh hari terakhir Ramadhan saja, dari tiga ratus enam puluh lima hari yang Allah swt. sediakan. Semestinya perintah ini tidak memberatkan, jika dibanding jumlah hari yang begitu banyak dalam hitungan tahunnya. Sehingga, apakah jika beberapa hari atau beberapa jam seseorang tidak mencari duit dan kekayaan, waktunya digunakan untuk melaksanakan sunnah i’tikaf, ia  akan mengalami kerugian atau mengalami bahaya?
Padahal jika ia beri’tikaf, ia telah melaksankan perintah dari Tuhannya, perintah dari Dzat Pemberi Rizki dan Dzat yang Maha Pemurah, Dzat yang Menguasai dunia berikut isinya…
Pemilik dunia ini juga yang menjadikan malam-malam tertentu di akhir Ramadhan sebagai malam-malam ibadah; untuk shalat, menghidupkan malam –qiyamullail-, tilawah dan dzikir, untuk selanjutnya ia keluar dari pelaksanaan i’tikaf dan bulan suci Ramadhan dengan hati yang bersih, iman yang kuat, ilmu dan pengetahuan yang melimpah, dengan itu ia mengetahui dirinya sendiri dan mengenal Tuhannya, yang boleh jadi ia tidak ketahui sebelum ia melakukan i’tikaf.
Jika kita mengetahui sebagian dari nilai dan hikmah  i’tikaf ini, kita pasti akan mendudukkannya sesuai porsinya, sebelumnya juga kita tidak akan menzhalimi diri sendiri dengan meremehkannya, juga setelah mengetahui nilainya tidak akan berdiam diri dan bermalas-malasan.
Beri’tikaf berarti meraih sumber mata air yang menguatkan iman laksana mukjizat. I’tikaf menumbuhkan sikap dermawan tak terhingga, mendorong seorang mukmin untuk terus beramal tanpa henti, menumbuhkan cita-cita tanpa putus asa. Beri’tikaf mengikatkan diri dengan Allah swt. yang dengannya tidak akan berarti setiap ikatan-ikatan emosional lainnya. Beri’tikaf sekaligus meringankan beragam rintangan di jalan dakwah dan medan amal.
Berbeda dengan sekelompok orang yang selalu dikungkung beragam pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkannya dengan berbagai alibi dan alasan, walau untuk beberapa hari atau beberapa jam saja untuk beri’tikaf. Orang seperti ini layaknya seseorang yang merawat orang yang sakit, yang selalu membutuhkan perawatan, atau seperti orang jompo yang selalu membutuhkan pengawasan, tidak bisa ia tinggalkan. Kelompok orang yang demikian jauh lebih membutuhkan uluran bantuan dan kebaikan doa, agar Allah swt. melipat gandakan pahala kepada mereka di dunia dan akhirat.
Tipu Daya
Orang yang tidak bisa beri’tikaf pada dasarnya hanya mencari-cari berbagai alasan. Padahal boleh jadi alasan-alasan itu merupakan propaganda dan alibi semata.
Sungguh, dunia terus akan membebani jiwa, bahkan semakin tenggelam dengan kehidupan dunia akan semakin membebani jiwa. Padahal obat dari beban berat jiwa itu adalah i’tikaf.
Perangkap setan akan menyusup dan membisikkan bagi orang yang beri’tikaf bahwa apa yang ia lakukan –bekerja- juga dalam rangkaian beribadah kepada Allah swt, karena itu tidak boleh diganggu dengan i’tikaf. Jika propaganda setan ini terus mendominasi dirinya, maka lama-kelamaan ia akan sulit menerima kebenaran, berat melakukan i’tikaf. Padahal i’tikaf menjadi obat yang disediakan oleh Dzat Yang Maha Penyembuh dari berbagai penyakit.
Ya, hendaknya di hari-hari penghujung Ramadhan ini kita memiliki kemampuan untuk melihat agama dan dunia kita secara seimbang dan proporsional sebagaimana yang dikehendaki Allah swt. dan agar kita merasakan –meskipun sekejap- manisnya memutuskan diri dari kesibukan dunia untuk berintim dengan Allah swt., beri’tikaf. Sehingga dengan upaya itu akan merubah jiwa dan hidup kita menjadi lebih baik, dan itu berlangsung selama Ramadhan satu ke Ramadhan yang berikutnya, biidznillah. Allahu a’lam []
Diposting oleh Abu Jundi — Kamis, 09 Agustus 2012

Belum ada komentar untuk "Mengapa Tidak Beri’tikaf?"

Tambahkan komentar anda :

Silakan tulis Komentar anda ...

Arsip Blog

Info Lowongan Kerja Solo Raya 2012