Kesombongan Sultan HBX ?...

Dari atas mobil 'Alphard'-nya, Sultan HB X menilai dan menyalah-nyalahkan serta
meng-kambing hitam-kan ‘abdi dalem keraton Jogja’ yang telah wafat, yang semasa
hidupnya abdi dalemnnya itu hanya digajinya sekitar Rp. 80-an ribu per bulannya
saja…

Dahsyat !!!... dari atas mobil 'Alphard' (satu buah mobilnya seharga Milyaran
Rupiah) masih saja menilai dan menyalah-nyalahkan serta meng-kambing hitam-kan
abdi dalemnya yang telah wafat, yang semasa hidupnya abdi dalemnya itu hanya
digajinya sekitar 1/12.500 (seper dua belas ribu lima ratus) dari harga salah
satu mobilnya saja alias hanya digajinya sekitar Rp. 80-an ribu per bulannya
saja…

Ini salah satu bentuk nyata dari "Kesombongan Bangsawan" atau bentuk nyata dari
contoh para "Bangsawan" yang "Tak Tahu Terimakasih" dan "tak menghargai
pengabdian budak pelayannya" kah ?...

*

Two Thumbs Up buat Presiden SBY… empati dan solusi nyata bagi kelancaran
evakuasi korban bencana.. dimana… pada kasus yang sama… Sultan HB X dan
isterinya ‘sibuk’ menyalah-nyalahkan dan meng-kambing hitam-kan ‘abdi dalem
keraton Jogja’ yang hanya bergaji sekitar Rp. 80-an ribu per bulannya saja…

*

Merapi meletus… Mbah Maridjan beserta beberapa warga meninggal karena
letusannya…

Lalu… Sultan HB X dan isterinya sibuk menyalah-nyalahkan dan meng-kambing
hitam-kan sang abdi dalemnya, Mbah Maridjan sebagai biang keladi dari tak mau
dievakuasinya warga…

Blummmmm… Merapi kembali meletus…

Kali ini… disaat Mbah Maridjan sudah tiada… ternyata jumlah warga yang tak
terevakuasi tak berkurang jumlahnya… mereka pun menjadi korban letusannya…
bahkan kali ini jumlahnya berlipat kali dibandingkan letusan sebelumnya…

Kemudian… SBY datang… dengan membawa perspektif yang segar dalam melancarkan
evakuasi warga…

Hewan ternak milik pengungsi akan dibeli dengan ‘harga yang pantas’ oleh negara…

Two Thumbs Up buat Presiden SBY... Quo Vadis Sultan ?...

***



Banyaknya korban letusan Gunung Merapi di Desa Cangkringan, Umbulharjo, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai
kesombongan Cangkringan.

Sebab tokoh panutan di desa itu kekeh tidak mau dievakuasi saat status Merapi
dinaikkan menjadi Awas, Senin (25/10) pukul 06.00 WIB.

Tokoh panutan di Desa Cangkringan ada dua orang yaitu Mbah Marijan dan Ponimin.

Kedua orang yang dianggap paling berpengaruh itu tidak mau dievakuasi ke tempat
pengungsian yang telah disediakan. Sehingga banyak warga yang masih “ngeyel”
tidak mau mengungsi.

“Ini kesombongan Cangkringan”, kata Sultan yang juga Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta saat berada dalam mobil Alphardnya mengunjungi lokasi pengungsian di
Desa Hargobinangun dan Umbulharjo, Selasa malam (26/10).

Imbauan para ahli dengan data-data ilmiah justru ditanggapi warga dengan
mengabaikan peringatan dan anjuran petugas yang sudah siap mengevakuasi mereka.

Warga lebih memilih mengikuti panutan di desa mereka. Sehingga saat Merapi
meletus masih banyak warga yang berada di Kawasan Rawan Bencana III dan II.
Akibatnya, banyak korban jiwa yang terkena awan panas atau sering disebut wedus
gembel.

Kabar Mbah Marijan saat berita ini ditulis masih simpang siur.

Ada yang mengatakan dia selamat dan ditemukan di lereng di dekat rumahnya.

Padahal, menurut kesaksian Tri Hartoko salah satu Tim SAR dari Penanggulangan
Bencana Pemerintah Kabupaten Sleman rumah Mbah Maridjan rusak berat diterjang
wedus gembel.

Sedangkan orang yang berada di sekitar rumahnya sebanyak empat orang tewas
tersapu awan panas itu. “Empat orang ditemukan tewas dan gosong meskipun tubuh
utuh”, kata Tri.

Sedangkan rumah-rumah disekitar rumah Mbah Marijan juga hancur, pohon
bertumbangan dan menutup jalan akses ke dusun Kinahrejo tempat tinggal Mbah
Marijan.

Sedangkan Tukimin dan enam anggota keluarga lainnya yang sempat terjebak awan
panas di rumahnya bisa diselamatkan oleh Tim SAR dan dibawa ke RS Panti Nugroho,
Pakem, Sleman.

Saat ini jumlah korban tewas yang masuk ke RSUP dr Sardjito sudah 12 orang.
Mereka sedang diidentifikasi. Sedangkan korban luka masih belum terdata secara
komplit di Posko Penanggulangan Bencana di Pakem, Sleman.

*
Sultan : Ini Kesombongan Cangkringan
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/10/27/brk,20101027-287469,id.html
***

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak hari ini (6/11) akan berkantor di Gedung
Agung Yogyakarta.

Bersama rombongan yang terdiri dari Menko Polkam, Djoko Suyanto, dan Menko
Perekonomian, Hatta Rajasa. Presiden bertolak dari Bandara Sukarno-Hatta,
Cengkareng, menuju Semarang , Jawa Tengah.

Rute tak langsung ke Yogyakarta ini ditempuh rombongan Presiden, karena Bandara
Adi Sucipto, Yogyakarta , masih dinyatakan tertutup untuk aktivitas penerbangan
akibat guyuran abu vulkanik yang menutupi runway sejak hari jumat (5/11)
kemaren.

Keputusan berkantor di Yogyakarta diambil Presiden secara mendadak, karena
melihat situasi Gunung Merapi yang menunjukkan aktivitas tak menentu.

Sebelumnya, Harian Kompas (5/11) memberitakan jumlah pengungsi sampai hari
Jum’at kemaren telah mencapai 100.000 orang. Radius zona bahaya Merapi yang
sehari lalu ditentukan pada jarak 15 kilometer, hampir dipastikan hari ini akan
dinaikkan lagi menjadi 20 kilometer.

Paling tidak, keputusan SBY untuk mendekatkan aktivitas kerjanya sehari-hari
sebagai Kepala Negara dengan daerah bencana, akan membuat korban terhibur dan
merasa mendapatkan kepedulian.

Secara psikologis, SBY telah memberi ‘support yang nyata’, disamping akan sangat
mempermudah dan mempersingkat tempo pengambilan keputusan penting yang harus
diambil terkait penanggulangan korban.


Selama musibah letusan Gunung Merapi, kedatangan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono ke Yogyakarta ini adalah kunjungan yang kedua kali, setelah kunjungan
pertama bersama Ibu Negara, Ani Yudhoyono, ke posko pengungsian Purwobinangun,
Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, pada hari Rabu (3/112010).


Sejumlah kalangan menilai dan mengacungi dua jempol (two thumbs up) kepada
Presiden, bahwa langkah yang ditempuhnya sudah tepat.

Empati nyata yang diberikan Presiden kepada warga yang sedang dilanda musibah,
tentu tidak kecil manfaatnya.

Dan dengan berkantor di Yogyakarta , SBY bisa langsung mendorong kesungguhan
aparat yang bertugas di lapangan, serta sekaligus memperketat segala bentuk
pengawasan kegiatan penanggulangan bencana.

Tentu pula warga Yogyakarta berharap, selama berkantor di Gedung Agung, SBY tak
sebatas menebar pesona politiknya.

*
Two Thumbs Up, SBY Berkantor di Gedung Agung
http://regional.kompasiana.com/2010/11/06/two-thumbs-up-sby-berkantor-di-gedung-agung/

***

Sepeninggal Mbah Maridjan, praktis kini tak ada lagi seorang yang kini bertugas
sebagai juru kunci dan 'menjaga' Gunung Merapi.

Namun, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dari Keraton Yogyakarta Hadiningrat telah
meminta agar seorang pria bernama Ponimin, tetangga almarhum Mbah Maridjan, yang
selamat dari letusan Gunung Merapi menjadi penunggu gunung tersebut.

Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengatakan hal itu ketika mengunjungi Ponimin
yang mengungsi di rumah kerabatnya di Dusun Ngenthak, Desa Umbulmartani,
Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (28/10).

"Yo wis , kowe saiki sing tunggu Merapi (ya sudah kamu sekarang yang menunggu
Merapi)", kata GKR Hemas kepada Ponimin usai mendengarkan cerita Ponimin bersama
istrinya perihal bagaimana keluarga tersebut menyelamatkan diri dari letusan
Gunung Merapi.

Namun saat itu, Ponimin tidak segera menyanggupi permintaan GKR Hemas dan
mengatakan bahwa dirinya tak bisa memberikan jawaban saat ini, dan hal itu bisa
dipahami oleh GKR Hemas.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ( DPD RI ) ini
mengunjungi tempat tinggal sementara Ponimin di Desa Umbulmartani Kabupaten
Sleman bersama empat anggota DPD RI yakni Hafidh Asrom, Bambang Suroso, Supardi,
dan Nurmawati.

*
Ratu Tunjuk Ponimin Gantikan Mbah Maridjan
http://id.omg.yahoo.com/news/ratu-tunjuk-ponimin-gantikan-mbah-maridjan-khjx-0000346522.html

***

Menjadi korban bencana plus tinggal di pengungsian yang serba kurang nyaman,
bisa membuat korban erupsi Gunung Merapi depresi.

Ada banyak cara untuk menghindarkannya, seperti dengan variasi menu makanan dan
hiburan.

Demikian yang Sri Sultan Hamengkubuwono X sampaikan ketika meninjau pengungsian
di Umbulharjo, Sleman.

Dia didampingi permaisuri, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, tiba kurang lebih
pada pukul 17.00 WIB, Jumat (29/10/2010) dan 15 menit kemudian meninggalkan
lokasi.

“Pengungsi juga butuh hiburan, seperti ‘campursari’ dan sebagainya”, ujar Sri
Sultan.

Sebelumnya Sri Sultan meninjau fasilitas dapur umum di pengungsian Umbulharjo.
Kepada sejumlah ibu-ibu warga Umbulharjo yang sedang piket untuk menyiapkan
jatah makan malam, dia berpesan agar sebisa mungkin menyediakan menu yang
bervariasi.

“Ini variasi makanan jangan lupa agar nggak bosan. Ada daging, ayam dan ikan.
Tapi sesuaikan dengan selera pengungsi”, wanti Sri Sultan.

“Nggih... (Ya...)”, balas ibu-ibu serempak.

Sementara GKR Hemas memilih berinteraksi dengan para pengungsi.

Di sela-sela dialog, tiba-tiba seorang ibu menubruk dan memeluknya sambil
menangis tersedu-sedu.

Di dalam tangisnya si ibu mengaku tempat tinggalnya di dusun Kinahrejo
bertetangga dengan Mbah Maridjan. Seperti diketahui juru kunci Gunung Merapi itu
ditemukan tewas tersengat awan panas bersama belasan orang lainnya yang tidak
sempat menyelamatkan diri.

“Mamulo nek dikhon medhun, yo medhun. Ojo ngeyel (Makanya bila diminta turun
dari lereng Gunung Merapi ya segera turun. Jangan membantah)”, bahas GKR Hemas
sembari mengusap-usap punggung tetangga Mbah Maridjan (almarhum) itu.

Sebelum meninggalkan penngungsian, Sri Sultan dan GKR Hemas menyapa anak-anak
yang sedang bermain-main di halaman pengungsian.

Tempat penampungan pengungsi yang digunakan adalah gedung pertemuan desa dan
sekolah.


Hingga H+3 letusan, di pengungsian belum juga didirikan sekolah darurat.

Sayangnya, tidak adanya fasilitas yang sebenarnya juga bisa berfungsi sebagai
sarana menghindarkan anak-anak korban bencana dari depresi.

Hal ini seolah ‘kalah penting’ dibanding hiburan ‘campursari’ sebagaimana Sri
Sultan pesankan.

*
Sultan Minta Pengungsi Merapi Dihibur Campursari
http://www.detiknews.com/read/2010/10/29/192250/1479200/10/sultan-minta-pengungsi-merapi-dihibur-campursari

***

Warga Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogjakarta, menggelar acara
‘shalawat dan doa’ kepada korban tewas akibat letusan Gunung Merapi.

Shalawat dan doa dilakukan di barak pengungsian yaitu di lapangan bola Desa
Kepuharjo.

“Kita mengirimkan salawat dan doa bersama untuk 35 jenazah korban merapi. Nanti
kita akan kirimkan surat Al Fatihah kepada arwah yang meninggal, termasuk Mbah
Maridjan”, ujar panitia acara Syajaroh di lokasi, Senin (1/11/2010) malam.

Acara salawat dan doa ini dipimpin oleh adik Sri Sultan Hamengkubowono X, yaitu
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Joyohadi Kusumo.

Kegiatan diikuti oleh ratusan warga yang sebagian besar adalah pengungsi. Hingga
pukul 21.30 WIB acara masih berlangsung.

Meski beralaskan tikar dan duduk lesehan, acara tetap berlangsung dengan
khidmat. Pimpinan doa memimpin dari atas panggung setinggi setengah meter.

Desa Cangkringan sendiri merupakan salah satu desa yang letaknya dekat dengan
lereng Merapi.

Ribuan warga mengungsi di tenda-tenda dan sebuah aula besar yang sengaja
dibangun tenda pengungsian.

*
Warga Desa Kepuharjo Gelar Doa dan Salawat Bersama
http://www.detiknews.com/read/2010/11/01/213912/1482014/10/warga-desa-kepuharjo-gelar-doa-dan-salawat-bersama

***

Gunung Merapi masih terus memuntahkan isi perutnya. Prahara itu mengobrak-abrik
Kota Yogyakarta dan sekitarnya.

Di tengah itu tampil Mbah Ponimin bilang ketemu Sultan Agung, muncul awan
Petruk, dan Dr Surono ahli gunung mendapat 'gelar' baru Mbah Rono.

Inilah politik para demit yang tidak enak ‘dinalar’ tapi asyik ‘didengar’.

Mumpung gunung mistis itu masih bergolak, rasanya menarik untuk memasuki batin
orang Jawa. Insan berperadaban lama, pengamal euphemisme, dan pemberi makna
tiap kejadian dan benda.

Pengayaan itu membuat banyak orang tidak paham. Padahal jika ranah ini dibawa ke
Islam, maka mirip garis besar 'Ihya Ulumuddin' gagasan Al Ghazali. Syariat itu
wadag. Ma'rifat itu jiwa.

Manusia Jawa itu hakekatnya adalah spiritualis sejati. Dia tidak hanya bicara
kebaikan, tetapi sekaligus pelaku kebaikan.

Syariat dijalani dengan kata dan sikap. Ma'rifatnya diendapkan sekaligus
dilakukan.

Itu latar idiom ing ngarso sung tulodho, ing madyo bangun karso, tut wuri
handayani. Di depan memberi contoh. Di tengah menyemangati. Di belakang
mendorong menuju kebaikan.

Almarhum Kuntowijoyo menyebut manusia Jawa itu introvert. Itu karena kebaikan
dalam budaya Jawa disimbolisasikan padi.

Padi yang berisi itu menunduk. Padi yang tegak itu gabuk. Tidak ada isinya. Ini
sebagai metafora, bahwa orang yang berilmu, orang cerdas, orang yang memimpin
dan sadar sebagai pemimpin itu adalah yang tidak pongah. Dalam darahnya lebih
banyak dialiri unsur malaikat ketimbang setan.

Manusia yang punya budi pekerti luhur itu dituakan. Dia dijadikan tempat
mengadu. Diposisikan sebagai embat-embate pitutur (pertimbangan) dalam segala
persoalan.

Dan orang yang sudah sama dalam kata dan tindakan itu dipanggil mbah, eyang, dan
romo.

Adakah Mbah Rono dan Mbah Ponimin memang sudah pada tahapan itu ?.

Ini penghargaan bernilai spiritual yang bersifat metafisis.

Orang yang dituakan itu adalah orang yang mengamalkan filosofi budi. Dia tidak
kebendaan. Apalagi pamrih jabatan.

Jangan kaget jika berpuluh-puluh tahun lalu orang kaya di desa selalu dicurigai.
Dituding mengkaryakan Tuyul atau Nyai Blorong, makhluk antah-berantah yang
dipercaya mampu membuat kaya.

Sifat mengutamakan keluhuran itu sekarang memang semakin langka.

Banyak yang bilang manusia Jawa kini sudah hilang 'Jawanya'. Hilang etikanya.
Hilang budi pekertinya. Hilang sifat spiritualitasnya, karena sudah menjadi
pengamal filosofi materi. Jujur tapi miskin itu hina. Punya jabatan tinggi tidak
korupsi itu naif.

So, orang Jawa yang baik sekarang adalah perampok dan maling. Maling rakyat dan
maling negara.

Budaya profan itu memang tuntutan. Tuntutan dari hedonisasi yang merambah
seluruh sendi.

Orang Jawa tak lagi menyisakan waktu nglalar lan nglulur (instrospeksi).

Dan yang Islam menempatkan salat sekadar kewajiban. Wajib manembah mring Gusti
Allah, tak peduli hanya dijalankan seperti check-lock absensi atau malah hanya
tabik sambil berlari.

Profanisme itu yang merusak segalanya. Orang kaya hasil maling dipuja. Sogok dan
suap demi lancarnya urusan dihalalkan. Cagar budaya, cagar alam, cagar-cagar
yang lain dirusak untuk diduitkan.

Dan ketika alam marah, maka reaksi logis adalah saling menyalahkan. Itu karena
watak spiritualitasnya sudah hilang. Manusia tinggal punya mulut untuk
berteriak dan punya akal untuk ngakali.

Manusia Jawa memang sinkretis. Tapi sinkretisme itu bukanlah penggabungan
seluruh agama untuk dijadikan satu ugeman.

Sinkretisme disini adalah suatu penghargaan terhadap kepercayaan orang lain yang
berbeda. Asas harmonisasi tetap menjadi soko guru, karena perbedaan adalah
radiks harmoni.

Dengan begitu, maka pengakuan Mbah Ponimin bertemu Sultan Agung memang bukan
berlatar 'Islami'. Ini sama dengan penipuan mata melihat awan Petruk.

Wadagisme itu adalah politik para demit agar semuanya bubar. Jika manusia Jawa
masih memegang roh spiritualitas nenek moyangnya, tentu tidak melihat setan
sebagai lawan yang harus dilawan.

Memang benar makhluk itu dicipta untuk menggoda. Menggoda kita agar jauh
dari-Nya dan salah langkah. Tapi secara spiritual, kita harus berterimakasih
pada Allah karena didampingi setan agar makin beriman dan kian dekat
dengan-Nya.

Baca 'Sajaratul Kaun' yang mengkisahkan setan bertamu pada Nabi Muhammad SAW
saat junjungan kita itu dikelilingi para sahabat. Umar Bin Khattab yang marah
dan hendak membunuhnya dicegah oleh Nabi.

Panutan yang dikenal jujur itu menyuruh menanyai yang baik dan buruk baginya
agar manusia menjauhi yang diinginkan setan dan menjalankan yang tidak disukai
setan.

Dan di tengah keprihatinan saudara-saudara kita yang terkena musibah, coba
sedikit kita renungkan kata-kata James Own dalam 'The Satanic Tragedy'.

“Setan itu kasihan. Tobat pun masih akan masuk neraka. Tapi kalau kita
mengasihani setan, itu sama artinya kita telah digoda setan”.Subhanallah !.


Politik setan memang halus dan menjebak. Adakah kita mengamalkan itu dengan
saling menghujat perbedaan dan saling menyalahkan tragedi yang terjadi ?.

*
Politik Para Demit
http://www.detiknews.com/read/2010/11/04/103944/1485378/103/politik-para-demit?nd991107103

***

Raja wanita ?. Itu biasa, ada Ratu Elizabeth II di tahta kerajaan Inggris, dan
beberapa ratu di beberapa negara lainnya yang juga berbentuk monarki.

Presiden wanita ?. Itu juga biasa, ada Megawati Soekarnoputri yang pernah
menjabat sebagai Presiden di Republik Indonesia, dan beberapa beberapa negara
lainnya yang juga pernah mempunyai Presiden wanita.

Hanya dalam soal Presiden Wanita ini, barangkali sebagai catatan pengecualiannya
justru adalah negara yang dianggap sebagai mbahnya demokrasi, yaitu United
States of America atau Amerika Serikat, yang malahan belum pernah mempunyai
Presiden wanita.

Khalifah wanita ?. Ini yang tidak biasa. Dan, tidak hanya soal tidak biasa saja,
namun juga belum pernah ada.


Hal yang tidak biasa ini kemungkinan akan berubah biasa dan jga akan merubah
yang tadinya belum pernah ada menjadi pernah ada.

Jika ini kesampaian terjadi, maka ini akan menjadi catatan sejarah baru yang
sangat mensejarah.

Catatan sejarah baru itu akan ditorehkan oleh Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat.


Jika merujuk dari keinginan permaisuri di Kasultanan tersebut, yaitu GKR Hemas,
yang kemudian keinginannya itu telah mendapatkan pengkukuhan dari suaminya yaitu
Sri Sultan Hamengku Buwono X, maka di masa depan untuk pewaris tahta atas
kerajaan itu akan diberikan kepada putri tertuanya yaitu Gusti Kanjeng Ratu
Pembayun.

Jadilah di masa nantinya, GKR Pembayun itu akan bergelar ‘Sampeyan Dalem
ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman
Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sewelas’.

Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Raja di Kasultanan Yogyakarta itu didalam
gelarnya disebutkan sebagai ‘Senapati ing Ngalaga’, dimana gelar itu secara
terjemahan bebasnya berarti sang pemegang gelar tersebut adalah pemimpin
tertinggi dalam peperangan.

Sedangkan gelar ‘Sayidin Panatagama’ itu secara terjemahan bebasnya berarti sang
pemegang gelar tersebut adalah pemimpin dalam menata urusan agama.

Lalu didalam gelar ‘Khalifatullah‘ berarti bermakna pemegang gelar tersebut
adalah Khalifahnya Allah SWT.


Sebagaimana diketahui, semenjak berdirinya kerajaan Islam Demak Bintoro sampai
dengan saat ini, baik di Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta maupun di
Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta, belum pernah ada pemegang tahta
kerajaan dari kalangan kaum wanita.

Didalam sejarah suksesi tahta kasultanan Yogyakarta sendiri pernah ada pewaris
tahtanya bukanlah anaknya, akan tetapi adalah saudara laki-lakinya. Hal itu
setidaknya dapat dilihat dalam sejarahnya tahta Sri Sultan Hamengku Buwono V dan
Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

Sri Sultan Hamengku Buwono VI yang sewaktu mudanya bernama GRM Mustojo adalah
adik laki-laki dari Sri Sultan Hamengku Buwono V yang sewaktu mudanya bernama
GRM Ghatot Menol.

GRM Ghatot Menol dan GRM Mustojo adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono
IV dari salah satu garwanya yaitu GKR Kencono.


Memang di era sebelumnya, yaitu Majapahit yang merupakan kerajaaan Hindu Budha
itu pernah ada pada suatu masa dimana yang duduk di singgasana tahta kerajaannya
adalah seorang perempuan atau seorang ratu.


Sebagaimana diketahui pula, Sri Sultan Hamengku Buwono X yang tidak mempunyai
anak laki-laki itu sedang berjuang dalam mempertahankan kelangsungan
keistimewaan bagi Sultan di kerajaannya untuk tetap secara otomatis ditetapkan
menjabat sebagai Gubernur di propinsinya.

Belum lama ini berkait denga hal itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X melontarkan
‘tantangan’ kepada pemerintah pusat, dalam hal ini adalah pemerintahan yang
dipimpin oleh Presiden SBY, untuk mengadakan ‘referendum’.

Referendum itu terkait dengan keinginan pemerintah pusat yang tak lagi ingin
meneruskan keberlangsungan keistimewaan bagi Sultan di kerajaan itu, sehingga
Sultan tak lagi secara otomatis ditetapkan menjabat sebagai Gubernur di
propinsinya tersebut.


Hal itu tentu terkait dengan nasib tahta kasultanan yang akan diwariskannya
kepada anak perempuannya, yaitu GKR Pembayun.

Dalam arti, jika keberlangsungan keistimewaan itu tak lagi ada, maka GKR
Pembayun meskipun berhasil menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono XI, namun tak
otomatis menjabat sebagai gubernur.


Terkait dengan GKR Pembayun yang digadang-gadang oleh ayahanda dan ibundanya
untuk menjadi pewaris tahtanya itu, akankah gelar ‘Sayidin Panatagama’ dan gelar
‘Khalifatullah ‘ itu kemudian akan ditanggalkannya, sehingga GKR Pembayun hanya
akan bergelar ‘Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana
Senapati ing Ngalaga ingkang Jumeneng Kaping Sewelas’ saja ?.

Ataukah, GKR Pembayun sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono XI akan mencatat
sejarah baru sebagai ‘Sayidin panatagama dan khalifah wanita’ yang pertama kali
dalam sejarah ?.


Wallahualambishshawab.

*
Khalifah Wanita di Indonesia
http://politik.kompasiana.com/2010/10/01/khalifah-wanita-di-indonesia/
http://politikana.com/baca/2010/10/01/khalifah-wanita-di-indonesia.html
*

Siapa tak kenal dengan Mbah Maridjan. Pria renta yang merupakan salah satu
korban tewas letusan Gunung Merapi ini ternyata adalah sosok yang ‘taat’
menjalankan ibadah.

Setiap suara adzan berkumandang dari masjid yang terletak tak jauh dari
rumahnya, Mbah Maridjan langsung bergegas ke masjid meskipun sedang ada tamu
misalnya.

Para tamu harus menunggu simbah selesai salat berjamaah, atau sekalian ikut
salat di masjid.

Bahkan, saat para warga Dusun Kinahrejo diungsikan, Selasa (26/10/2010), Mbah
Maridjan malah memilih ‘tirakat’ di dalam masjid, berharap agar tidak terjadi
bencana di kampung halamannya.

Menurut kerabat dekat Mbah Maridjan, Tutur Wiyarto, Mbah Maridjan adalah sosok
yang religius.

“Beliau orangnya tidak klenik loh, justru muslim yang sangat taat”, kata Agus
saat diwawancarai tvOne, Rabu (27/10/2010) kemarin petang.

Hal ini tak cuma terjadi saat merapi bergejolak minggu-minggu ini saja,
melainkan pada saat Merapi beraktivitas pada 2006 lalu, sikap religius Mbah
Maridjan juga memang sudah terlihat.

Jika tiba waktu salat Dzuhur, Mbah Maridjan langsung ke masjid, setelah itu pria
renta ini melakukan aktivitasnya sehari-hari yaitu mencari rumput untuk sapi
ternaknya, dan baru pulang di sore hari.

Mbah Maridjan juga tidak sakti mandraguna seperti yang dibayangkan orang. Pria
bergelar Raden Ngabehi Surakso Hargo ini juga ‘mengaku’ bukanlah orang yang
sakti.

Jika ada orang iseng meminta ilmu atau jodoh, Mbah Maridjan langsung
menolaknya, menolak bukan karena pelit tapi memang karena tidak bisa.

Setiap kali didatangi oleh para tamu, meski dia tidak kenal, dia selalu
mempersilakan dan selalu tersenyum. Tapi satu yang akhir-akhir ini dia tidak mau
lakukan, berfoto bersama.

Seperti yang tampak di tayangan TV beberapa sehari sebelum dia meninggal.

Pria yang rambutnya sudah memutih ini tampaka menutupi wajahnya sambil tersenyum
malu saat mata kamera ditujukan kepadanya.

Kini Mbah Maridjan telah tiada. Jasa-jasanya akan selalu dikenang sebagai
penjaga Gunung Merapi Sampai akhir hayat.

*
Mbah Maridjan, Sosok Religius yang Selalu Tersenyum
http://www.detiknews.com/read/2010/10/28/090103/1477107/10/mbah-maridjan-sosok-religius-yang-selalu-tersenyum

***

Dalam film ‘The Last Samurai’ (2003), diceritakan salah seorang menteri kaisar
Jepang, Katsumoto menolak modernisasi secara drastis di Jepang.

Ia berpegang pada kode-kode lama, kode yang yang sulit ‘dipahami’ sebagian
orang.

Kesetiaannya pada kekaisaran Jepang tak mudah ‘dipahami’ oleh sebagian besar
orang sezamannya.


Tak mirip memang, tetapi saya merasa ada kesamaan antara Mas Penewu Suraksohargo
dengan Katsumoto.

Keduanya sama-sama ‘pengabdi’ pada kerajaan yang berusaha bertahan dalam terpaan
modernisasi.

Katsumoto mengabdi di Jepang, Suraksohargo yang lebih dikenal sebagai Mbah
Maridjan mengabdi pada Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.


Katsumoto mati dalam perlawanan menolak modernisasi terlalu drastis, sembari
menunjukkan ‘kesetiaan’ pada tugas sebagai guru dan penasihat bagi kaisar.

Kematiannya dimaksudkan sebagai ‘nasihat’ terakhir pada Kaisar.


Suraksohargo wafat, Rabu (27/10) dalam posisi ‘bersujud’ di rumahnya.

Sebagian menganggapnya bebal tidak mau mengungsi saat Merapi aktif dan
memuntahkan awan panas. Kebebalan itu tak hanya merengut nyawanya, tetapi juga
orang lain di sekitar rumahnya di dusun Kinahrejo.

Sebagian lagi menganggap pria yang akrab disapa Mbah Maridjan itu ‘teguh’
menjalankan tugasnya sebagai juru kunci Merapi sampai nafas terakhir.

Juru kunci tentu saja bertugas menutup atau membuka pintu. Selama masih ada
orang, tak mungkin pintu ditutup.


Mbah Maridjan tahu betul ‘arti’ tugas itu saat menerimanya dari Sri Sultan
Hamengkubuwono IX pada tahun 1982.

Ia harus menjadi ‘orang terakhir’ yang mengungsi saat Merapi bangun.


Beberapa kawan yang berada di sekitar Merapi mengatakan, pria itu sudah sekuat
tenaga ‘meminta’ penduduk mengungsi.

Ada yang menuruti permintaannya, ada yang memilih bertahan.


Untuk yang bertahan, tak ada daya pada Suraksohargo untuk meminta mereka
menjauh.


Suraksohargo juga tahu tak ada daya menolak maut yang datang dengan rupa wedhus
gembel.

Ia hanya ‘berserah diri’ saat maut datang menjemput. Ia ‘bersujud’ di bentar
terakhir hidupnya.


Sebagian masih ‘mencaci’ kebebalannya.

Sebagian mulai mengerti ‘pelajaran’ yang ditinggalkan di masa akhir hidupnya.

Jangan meninggalkan amanat, walau maut datang. Saat semua di luar kuasa diri,
berserahlah pada yang maha kuasa.


Selamat jalan mbah….

*
Suraksohargo
http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/27/suraksohargo/
***



Sampai saat menit-menit akhir menjelang persis tengah malam, di hari Selasa,
tanggal 26 Oktober 2010 pukul 00:25 WIB, keberadaan dan nasib mbah Maridjan
masih belum diketahui.

Demikian yang diberitakan oleh sebuah situs berita online Detik.Com dalam
rilisnya yang bertajuk ‘Kondisi Mbah Maridjan Simpang Siur, Rumahnya Terbakar
Habis’.


Menurut penuturan beberapa orang termasuk anak lelakinya, posisi terakhir pada
saat bakda Sholat Maghrib berjamaah, mbah Maridjan diketahui masih kukuh untuk
berkeinginan tetap bertahan di desanya, dengan tetap berada di dalam masjid.

Keberadaan mbah Maridjan didalam masjid yang lokasinya berdekatan dengan rumah
mbah Maridjan itu hanya ditemani oleh pengiring setianya.


Selepas itu, tak ada yang tahu keberadaan dan nasib mbah Maridjan. Teka-teki
yang makin menjadi misteri, bahkan Kompas.Com menuliskan bahwa Sultan HB X pun
juga tak tahu keberadaan dan nasibnya mbah Maridjan.


Setelah itu, tim evakuasi mencapai rumahnya mbah Maridjan yang dalam keadaan
hancur terbakar.

Suasana disekitarnya mencekam, hawa terasa panas, masih ada titik api
disana-sini. Banyak pohon bertumbangan dan serta hangus terbakar serta
mayat-mayat yang bergelimpangan.

“Kondisi di Kinahrejo sangat parah, hampir semua rumah dan pohon-pohon roboh
serta ketebalan abu mencapai lebih dari 10 sentimeter“, kata Miskan Nur Ikza,
anggota Tim SAR Kabupaten Sleman, sebagaimana dikutip oleh Kompas.Com.


Tim evakuasi itu menemukan tak kurang dari 14 jenazah. Jenazah-jenazah itu dalam
kondisi gosong, karena terbakar.

“Ada 4 jenazah ditemukan di dalam rumah Mbah Maridjan. Di sekitar rumah Mbah
Maridjan, ada korban tewas sekitar 10 orang”, kata Kolonel (Laut) Pramono,
pimpinan tim evakuasi yang menyisir rumah Mbah Maridjan.

Tim Danlanal yang beranggotakan 37 personil ini merupakan satu-satunya tim
evakuasi yang berhasil mencapai rumah Mbah Maridjan.


Ditengah situasi yang demikian itu, seperti yang dikutip dari berita yang
dirilis oleh Detik.Commaupun Kompas.Com memberitakan bahwa mbah Maridjan
berhasil diketemukan dalam keadaan selamat walau kondisinya lemas.

“Mbah Maridjan selamat, tapi dalam kondisi lemas”, kata Kolonel (Laut) Pramono.

Namun Mbah Maridjan masih belum mau dibawa turun ke bawah. “Sekarang masih di
atas”, tambah Kolonel (Laut) Pramono.


Sungguh sesuatu tekad mbah Maridjan yang tak masuk di akal, selain mencoba
memahaminya dalam perspektif budaya Jawa.

Hangrungkepi momongane, setia sampai akhir kepada sesuatu yang dulu pernah
diamanahkan oleh Sultan HB IX (almarhum) kepada mbah Maridjan.


Ataukah, tekadnya itu menyerupai semangat seorang prajurit dalam mengemban tugas
yang dipercayakan kepadanya dimana ia tak akan meninggalkan pos yang harus
dijaganya, walau nyawa yang harus jadi taruhannya ?.


Wallahualambishshawab.

*
Mbah Maridjan : Setia Sampai Akhir, Hangrungkepi Momongane
http://unik.kompasiana.com/2010/10/27/mbah-maridjan-setia-sampai-akhir-hangrungkepi-momongane/

http://politikana.com/baca/2010/10/27/mbah-maridjan-setia-sampai-akhir-hangrungkepi-momongane.html

***

Hari ini kita mendengar berita, Mbah Maridjan menjadi salah satu korban dari
letusan Gunung Merapi Yogyakarta. Konon ia ditemukan meninggal dalam rumahnya di
Dusun Kinahrejo dalam posisi bersujud.

Mbah Marijan telah memberikan contoh terbaik kepada kita tentang bagaimana
memegang komitmen dan tanggungjawab dalam menjalankan tugas yang diembannya
sebagai penjaga Merapi.

Saya ingin mengajak kita mengenang dan memetik pelajaran mendasar dari sikap
heroisme Mbah Maridjan dalam menghadapi letusan Gunung Merapi pada pertengahan
tahun 2006 lalu.

Saat itu ketika orang ramai-ramai turun dari lereng Merapi, Mbah Maridjan justru
naik mendekati puncaknya. Tidak tanggung-tanggung, hanya berjarak 2 (dua) km
dari kawahnya !. Sosok tua bersahaja ini mencoba ikut 'menjinakkan' Merapi
dengan caranya sendiri yang unik.

Mbah Marijan sebagai juru kunci Merapi begitu mencintai tugasnya dengan tetap
memilih 'menjaga' Merapi dari dekat sekalipun pemerintah telah menghimbaunya
untuk segera mengungsi.

Bahkan seorang Gus Dur dan Gusti Joyo (Adik Sri Sultan HB X) juga tidak
berhasil 'merayu'-nya turun.

Banyak orang menyayangkan sikap Mbah Maridjan ini, tetapi tampaknya ia lebih
menyayangi Merapi daripada harus ikut mengungsi.

Setidaknya ada empat hal yang bisa kita catat dari sikap Mbah Maridjan tersebut.

Mbah Maridjan memberikan contoh kepada kita tentang bagaimana sebuah tanggung
jawab yang dipegang teguh selama menjalankan tugas dan pekerjaannya.

Seperti petugas pemadam kebakaran yang mempertaruhkan nyawa untuk memadamkan
api, begitu pula Mbah Maridjan yang rela menantang maut demi menjalankan
tugasnya sebagai juru kunci Merapi.

Satu sikap yang belakangan tidak mudah ditemukan dalam diri pejabat publik kita.
Saat ini banyak orang yang sudah tidak menjalankan tugas dan tanggung jawab yang
diembannya secara amanah.

Anggota DPR yang tidur saat sidang atau bahkan tidak pernah menghadiri sidang,
sipir penjara yang berkolusi membebaskan narapidana, polisi yang tidak menjaga
letusan senjatanya, jaksa yang menjual tuntutan demi meraih ratusan juta bahkan
miliaran rupiah, hakim yang tidak menjalankan tugas undang-undang untuk
menghadirkan saksi penting, dan banyak lagi contoh drama pengingkaran tanggung
jawab yang dimainkan oleh pejabat publik di negeri ini.

Mbah Maridjan juga memberikan motivasi kepada kita bagaimana sebuah keberanian
diperlukan untuk 'melawan' kekuatan (baca : tekanan) yang tidak sesuai dengan
kebenaran yang diyakininya.

Mungkin sebagian orang akan memberi label sebagai orang yang 'mbalelo, keras
kepala, ngeyel, dsb'.

Semua label tersebut salah besar bila dilekatkan kepada sosok Mbah Maridjan.

Baginya mengungsi bukanlah jalan terbaik untuk terhindar dari bencana.

Bila sebagian orang melihatnya sebagai bentuk irrasionalitas, justru sikap
'bertahan' Mbah Maridjan adalah yang paling rasional.

Saat itu, sebagian besar masyarakat lereng Merapi ‘enggan’ mengungsi karena
‘khawatir’ akan kehilangan sumber penghidupan.

Padi yang sedang mulai menguning, jagung yang mulai tampak ranum dan hewan
ternak yang mulai beranak pinak adalah aset penyangga hidup mereka selama ini.
Siapa yang akan menjamin aset tersebut tidak akan hilang atau dicuri orang
apabila harus ditinggal mengungsi ?.

Ini bukan soal mbalelo, keras kepala, atau ngeyel. Ini adalah soal bagaimana
masyarakat Merapi harus bertahan hidup, tidak hanya dari bahaya letusan Merapi
tetapi dari bahaya paceklik dan kemiskinan setelah Merapi meletus. Satu sikap
yang sangat rasional bukan ?.

Selain itu Mbah Maridjan telah menjadi inspirasi kepada kita untuk bisa
membedakan penggunaan kekuasaan pada tempatnya.

Ketika itu, Ia hanya akan mau turun kalau diperintahkan oleh Raja Yogya yang
memberinya tugas sebagai juru kunci.

Sekalipun yang menyuruh Sri Sultan HB X, tetapi Mbah Maridjan meyakini bahwa
saat itu kapasitasnya sebagai Gubernur DI Yogyakarta, sehingga ia tidak akan
mengikuti himbauan tersebut karena mandatnya sebagai penjaga Merapi diperoleh
dari Raja, bukan Gubernur.

Sehingga dalam hal ini Mbah Maridjan sama sekali tidak merasa membangkang.

Baginya ketetapan untuk tidak mengungsi dan bertahan di lereng Merapi adalah
untuk membantu tugas pemerintah menyelamatkan warga.

Selamat jalan Mbah Maridjan, engkau telah memberikan contoh terbaik kepada kami
tentang komitmen, konsistensi dan keteguhan hati.

*
Contoh Terbaik dari Mbah Maridjan
http://www.detiknews.com/read/2010/10/27/142445/1476633/103/contoh-terbaik-dari-mbah-maridjan?nd992203605

***

Ketika Gunung Merapi dinyatakan dalam ‘status awas’ oleh Balai Penyelidikan dan
Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta pada Senin (25/10) pukul 06.00
WIB, pemerintah menindaklanjutinya dengan memerintahkan warga di sekitar gunung
itu untuk mengungsi.

Pemerintah langsung turun tangan mengungsikan warga yang tinggal di kawasan
rawan bencana (KRB) III Merapi, termasuk di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo,
Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).


Sebagian besar warga, terutama lansia, anak-anak, dan perempuan bersedia untuk
mengungsi di barak pengungsian yang telah disediakan pemerintah, tetapi ada
warga yang belum mau dan tetap bertahan di rumah masing-masing.

Di antara warga yang belum bersedia mengungsi itu adalah juru kunci Gunung
Merapi Ki Surakso Hargo atau Mbah Maridjan.

Pria berusia 83 tahun bersikukuh tetap tinggal di rumahnya, karena tanggung
jawabnya sebagai juru kunci keraton Yogyakarta .


Meskipun sejumlah pihak telah berusaha membujuknya, Mbah Maridjan tetap
bersikukuh tidak mau mengungsi dan tetap tinggal di kediamannya yang berjarak
sekitar enam kilometer dari puncak gunung teraktif di dunia itu.

“Saya masih betah tinggal di tempat ini. Jika saya pergi mengungsi, lalu siapa
yang mengurus tempat ini”, kata pria yang menyandang juru kunci Gunung Merapi
sejak 1982 di kediamannya, Senin (25/10).


Namun demikian, Mbah Maridjan meminta warga menuruti ‘imbauan’ pemerintah
untuk mengungsi dan memohon keselamatan pada Tuhan agar tidak terjadi yang
sesuatu yang tidak diinginkan jika Merapi benar-benar meletus.

“Saya minta warga untuk menuruti perintah dari pemerintah dan memanjatkan doa
kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan Merapi tidak batuk”, kata pria yang
memiliki tiga anak itu.

Menurut dia, hanya Tuhan yang tahu kapan Merapi akan meletus. “Saya tidak punya
kuasa apa-apa”, katanya.


Sikap tidak mau mengungsi itu juga ditunjukkan Mbah Maridjan ketika Merapi
mengalami erupsi pada 2006.

Pada saat itu dirinya menolak untuk mengungsi meskipun dibujuk langsung oleh
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X dan dijemput
mobil evakuasi.

Pria 'sepuh' itu tetap tinggal di rumah untuk menepati janjinya terhadap
mendiang Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono IX
yang mengangkatnya sebagai juru kunci Gunung Merapi pada 1982.


Kejadian itu membuat Mbah Maridjan semakin terkenal. Popularitas itu
membuat Mbah Maridjan dipercaya menjadi bintang iklan salah satu produk minuman
energi.


Ternyata Tuhan berkehendak, Merapi meletus pada Selasa (26/10) petang. Bencana
tersebut berdasarkan data hingga Rabu (27/10) mengakibatkan puluhan orang
luka-luka dan puluhan orang tewas, termasuk Mbah Maridjan.

Pria yang mengabdikan diri untuk menjaga Merapi itu tewas terkena awan panas
saat gunung tersebut meletus.


Seorang anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) Desa Umbulharjo, Slamet
mengatakan, saat dilakukan penyisiran pada Rabu (27/10) pagi ditemukan sesosok
mayat dalam ‘posisi sujud’ di rumah Mbah Maridjan.

“Kemungkinan mayat yang ditemukan tersebut adalah Mbah Maridjan, namun hal itu
belum pasti karena wajah dan seluruh tubuhnya sudah rusak dan sulit dikenali
lagi”, katanya.

Menurut dia, mayat tersebut ditemukan di dalam kamar mandi rumah dalam posisi
sujud dan tertimpa reruntuhan tembok dan pohon.

Biasanya di dalam rumah tersebut hanya ditinggali oleh Mbah Maridjan sendiri.


Kepala Humas dan Hukum Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta Heru Trisna Nugraha
mengatakan, saat ini jenazah Mbah Maridjan masih berada di Bagian Kedokteran
Forensik RS Dr Sardjito, Yogyakarta .

“Jenazah tersebut dibawa oleh anggota Tim SAR dan masuk ke Rumah Sakit Dr
Sardjito sekitar pukul 06.15 WIB, informasi yang kami peroleh dari petugas SAR
yang mengantar saat ditemukan Mbah Maridjan dalam kondisi memakai baju batik dan
kain sarung”, katanya.


Mbah Maridjan kini telah tiada. Dia telah menepati janjinya untuk tetap setia
menjaga Gunung Merapi hingga akhir hayatnya.

Kepala Desa Umbulharjo Bejo Mulyo mengatakan, Mbah Maridjan adalah orang yang
memegang ‘teguh’ prinsip dan bertanggung jawab.

Meskipun Merapi telah berstatus awas, Mbah Maridjan tetap bertahan di rumahnya
sebagai wujud tanggung jawab terhadap amanat yang diemban sebagai 'abdi dalem'
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Kami sangat kehilangan sosok yang menjadi `panutan`, yang selama ini selalu
dijadikan tempat untuk meminta nasihat. Kami berdoa semoga arwah Mbah Maridjan
diterima di sisi Allah SWT, diterima amal ibadahnya dan diampuni dosa-dosanya”,
katanya.

*
Mbah Maridjan dan Kesetiaan Menjaga Merapi
http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/mbah-maridjan-dan-kesetiaan-menjaga-merapi.html

http://id.omg.yahoo.com/news/mbah-maridjan-dan-kesetiaan-menjaga-merapi-khjx-0000346350.html

***

Sultan Hamengkubuwono X menegaskan belum ada penunjukan Ponimin sebagai juru
kunci Merapi menggantikan Mbah Maridjan. Ponimin hanya ditugasi jaga Merapi.
Pengganti Mbah Maridjan akan ditentukan tahun depan.

"Soal penggantian, itu upacaranya masih tahun depan", kata Sultan
Hamengkubuwono X, usai rapat kordinasi dengan Pemkab Sleman di Posko Kecamatan
Pakem, Jl Kaliurang, Pakem, Sleman, Jumat (29/10/2010).

Menurut dia, belum ada penunjukan juru kunci Merapi yang baru.

Menurut dia ada prosedur khusus untuk mengangkat seorang juru kunci. "Ora ono
sing ditunjuk. Itu tidak ditunjuk begitu, tapi ada prosedurnya sendiri. Di
pemerintahan kan biasanya ada yang mengajukan, terus harus Abdi Dalem.
Prosedurnya kan begitu", tegasnya.

Lantas bagaimana dengan pertemuan Ponimin dengan istri Sultan, GKR Hemas ?.

Bukankah GKR Hemas menyampaikan pesan langsung pada Ponimin ?.

"Istri saya kan ngomongnya karena saiki Mbah Maridjan sudah tidak ada, saiki
kowe sing ngurusi Merapi. Bukan berarti dia yang menggantikan Mbah Maridjan",
ungkap Sultan.

Dengan demikian, posisi Ponimin sekarang pun juga bukan semacam pelaksana tugas.
"Nggak gitu juga toh. Cuma jaga Merapi", ujar dia.

Dalam rapat kordinasi ini, Sultan didampingi GKR Hemas dan Bupati Sleman Sri
Purnomo.

Nama Ponimin mendadak menjadi buah bibir setelah dia selamat dari awan panas
alias wedhus gembel Merapi. Ponimin dan keluarganya hanya berlindung dengan
sebuah mukena dan ajaibnya mereka selamat. Ponimin hanya mengalami luka bakar di
kaki.

Kemudian, istri Sultan, GKR Hemas pun datang menjenguknya.

Hemas terdengar menitipkan Merapi kepada Ponimin.

Hal ini pun diyakini publik sebagai restu Kraton Yogyakarta kepada Ponimin untuk
menggantikan Maridjan.

*
Sultan : Ponimin Bukan Pengganti Mbah Maridjan, Hanya Ditugasi Jaga Merapi
http://www.detiknews.com/read/2010/10/29/164143/1478898/10/sultan-ponimin-bukan-pengganti-mbah-maridjan-hanya-ditugasi-jaga-merapi

***


Sore ini, keisengan saya kumat. Melihat ada lima koran yang memang dilanggan
menyajikan ‘headline’ tentang bencana -terutama Merapi- dengan ‘gaya’
berbeda-beda.

Tentu ini bukan analisis media profesional, apalagi menggunakan media framing
analysis. Kalau boleh dibilang, ini cuma sekedar ‘laporan bacaan’ ala tugas anak
kuliahan saja.


Dari segi visualisasi halaman 1, secara subyektif saya suka Seputar Indonesia
(Sindo) dan Kompas, dengan foto Sindo lebih bagus komposisinya.

Sayang, di halaman 1 Sindo ada iklan Air Asia-CIMB Niaga dengan foto
pramugarinya yang cantik, sehingga merusak kesan duka secara keseluruhan.

Kompas menang di data dan penulisan dari berbagai angle dengan narasumber dan
wartawan yang berlimpah.

Sementara yang menarik dari Indo Pos adalah penyajian kesaksian seorang
wartawan Radar Jogja yang masih merupakan bagian dari IndoPos group tentang
saat-saat terakhir Mbah Marijan.

Republika secara umum biasa saja kualitas pemberitaannya, meski kesaksian Fahmi
Akbar Idris -Bendahara PWNU Yogyakarta, yang mengaku bertemu Mbah Marijan 2 jam
sebelum beliau meninggal- cukup menarik.

Terakhir adalah Rakyat Merdeka yang mungkin paling ‘cocok’ dengan warga blog
Politikana, karena menyajikan komentar SBY dan Marzuki Alie soal bencana. Enak
sekali untuk 'dibantai' di Politikana.


Untuk televisi, secara umum hanya Metro TV yang setia menayangkan perkembangan
mengenai berita bencana.

Di peringkat kedua ada TV One yang masih sempat menayangkan siaran langsung
Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Gelora Manahan, Solo.

Sementara stasiun televisi lainnya menayangkan aneka acara lainnya termasuk
acara musik seperti Dahsyat (RCTI) dan Inbox (SCTV). Business as usual saja.
Apakah ini memprihatinkan atau malah biasa saja sebenarnya ?.


Kebetulan saya juga sempat melihat sepintas tayangan infotainment Insert di
TransTV dan Silet di RCTI.

Yah, namanya juga infotainment, beritanya terasa dangkal dan dibuat-buat.
Apalagi artis yang diwawancara tampaknya tak siap.

Di Insert seorang personel group Seventeen malah masih memegang gitar. Seakan
mereka sedang nongkrong dan tiba-tiba ditanya soal bencana. Mbok ya gitarnya
ditaruh dulu Mas...

Di Silet, Indra Bekti diwawancara bersama istrinya Aldila Jelita. Meski Indra
cukup bagus dan simpatik komentarnya, Aldila tampaknya tak mau kehilangan
citranya sehingga 'jaim' dengan terus tersenyum tanpa tampak berduka.

Hanya Olga Syahputra yang terlihat tulus saat berkomentar.

Dari segi visualisasi, Silet yang banyak meminjam footage dari Seputar
Indonesia RCTI tampak unggul.


Toh walau begitu, secara umum kedua jenis infotainment ini sama saja.

Misalnya untuk menggambarkan posisi jenazah Mbah Marijan, tidak ada yang
menggunakan kata ‘shalat’. Yang ada malah digunakan kata ‘berdoa’ dan
‘sembahyang’, seakan tidak ikhlas kalau Mbah Marijan itu Islam.

Yah... namanya juga infotainment kan ?

*
Bagaimana Media Memberitakan Bencana
http://politikana.com/baca/2010/10/28/bagaimana-media-memberitakan-bencana.html
Diposting oleh Abu Jundi — Minggu, 07 November 2010

Ada 1 Komentar untuk "Kesombongan Sultan HBX ?..."

  1. sultan gelar raja islam laki2, klu gkr pembayun pengganti sultan hb x,masa sultan sih. kan wanita apa ga ratu????pelajaran sejarah dulu ada ratu sima dari kalingga .

    BalasHapus

Silakan tulis Komentar anda ...

Arsip Blog

Info Lowongan Kerja Solo Raya 2012